Tuesday, May 19, 2009

Arbitrase berdasarkan UU No.30 tahun 1999 dan Peraturan Prosedur BANI

ARBITRASE
DI BADAN ARBIRASE NASIONAL INDONESIA



Referensi:
1. UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ;
2. Peraturan Prosedur BANI
3. Artikel-artikel Arbitrase di Jurnal Hukum Bisnis Vol.21/2002

Pengertian Arbitrase
Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa
(Pasal 1 ayat 1 UU No.30/1999)


Yahya Harahap, SH pada Jurnal Hukum Bisnis Vol.21/2002 menyimpulkan sebagai berikut: ”Jadi, harus dibuat secara tertulis (in writing) dalam perjanjian. Tidak sah jika dibuat secara lisan/ oral, tapi dalam bentuk pertukaran surat, teleks, telegram, faksimili, e-mail dnegan syarat : wajib disertai dengan catatan penerimaan oleh para pihak;”

Para Pihak:
Pemohon (Pasal 1 ayat 5 UU No.30/1999 dan Pasal 3 (f) Peraturan Prosedur BANI)
Termohon (Pasal 1 ayat 6 UU No.30/1999 dan Pasal 3 (g) Peraturan Prosedur BANI)


Klausula Arbitrase
Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausul arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitarse tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.
(Pasal 1 ayat 3 UU No.30/1999)


Bentuk Klausula Arbitrase:

- Factum de Compromittendo (Ps. 1 ayat 3 UU No.30/1999)
Dibuat sebelum sengketa (dalam perjanjian pokok ataupun terpisah)

- Akta Compromis (Pasal 1 ayat 3 dan Pasal 9 UU no.30/1999)
Dibuat setelah sengketa
(terpisah dari perjanjian pokok dalam bentuk tertulis dan memuat hal-hal antara lain: hal yang disengketakan, nama lengkap dan tempat tinggal para pihak, tempat pengambilan keputusan, jangka waktu penyelesaian, pernyataan kesediaan arbitrase)

Yahya Harahap dalam Jurnal Hukum Bisnis Vol.21/2002, menyatakan bahwa akibat hukum dari Klausula Arbitrase yang melanggar kompetensi tersebut (pelanggaran terhadap domain of arbitration):
- klausula arbitrase menjadi batal demi hukum (the null and void/the effect was null)
- oleh karenanya klausula tersebut dianggap tidak pernah ada (never existed)
- penyelesaian sengketanya menjadi kewenangan PN;

Kompetensi Arbitrase (Domain of Arbitration)
Pasal 5 UU No.30/1999
(1) Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
(2) Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundangundangan tidak dapat di diadakan perdamaian.

Sengketa atau bahan-bahan yang dapat diarbitrasekan: (Peraturan Prosedur Arbitrase BANI yang termuat dalam Jurnal Hukum Bisnis Vol.21/2002 hal.51)
- Asuransi;
- Keuangan;
- Perbankan;
- Paten
- Hak Cipta
- Penerbangan
- Telekomunikasi
- Ruang Angkasa
- Kerja sama
- Pertambangan
- Industri
- Perdagangan
- Lisensi
- Keagenan
- Hak Milik Intelektual
- Design
- Konsultasi
- Distribusi
- Maritim & Perkapalan
- Konstruksi
- Pengindraan Jauh.

Jenis Arbitrase
- berdasar sifatnya: Institusional (Permanen dan memiliki Rule) dan Perorangan (Ad hoc/ insidentil);
- berdasarkan teritorialnya: Nasional dan Internatonal (Pasal 34 UU No.30 tahun 1999)

Tata Cara Mengadakan Arbitrase
Penyelesaian Arbitrase telah disetujui sebelum terjadinya sengketa
- Pemohon menyampaikan Pemberitahuan Permohonan:
“Dalam hal timbul sengketa, pemohon harus memberitahukan dengan surat tercatat, telegram, teleks, faksimili, email atau dengan buku ekspedisi kepada termohon bahwa syarat arbitrase yang diadakan oleh pemohon atau termohon berlaku.”(Pasal 8 ayat 1 UU No.30 tahun 1999)


- Isi Pemberitahuan Permohonan: (Pasal 8 ayat 2 UU No.30/1999)
a. nama dan alamat para pihak;
b. penunjukan kepada klausula atau perjanjian arbitrase yang disepakati;
c. perjanjian atau masalah yang jadi sengketa;
d. dasar tuntutan dan jumlah yang dituntut (jika ada);
e. cara penyelesaian yang dikehendaki;
f. perjanjian yang diadakan para pihak mengenai jumlah arbiter atau usul tentang jumlah arbiter yang dikehendaki dalam jumlah ganjil;

Penyelesaian Arbitrase disetujui oleh Para Pihak setelah terjadinya sengketa
- Isi Perjanjian tertulis: (Pasal 9 ayat 3)
a. masalah yang dipersengketakan;
b. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;
c. nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase;
d. tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan;
e. nama lengkap sekretaris;
f. jangka waktu penyelesaian sengketa;
g. pernyataan kesediaan dari arbiter; dan
h. pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase;
- Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 batal demi hukum (Pasal 9 ayat 4)
- Suatu Perjanjian Arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh keadaan tersebut dibawah ini: (Pasal 10 ayat 1)
a. meninggalnya salah satu pihak;
b. bangkrutnya salah satu pihak;
c. novasi;
d. insolvensi salah satu pihak;
e. pewarisan;
f. berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok;
g. bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan pada pihak ketiga dalam persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut; atau
h. berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.
PENGAJUAN, PEMBERITAHUAN TERTULIS, dan BATAS WAKTU (PASAL 4)

1. Setiap dokumen dan lampirannya harus diserahkan kepada Sekretariat BANI untuk didaftarkan dengan jumlah salinan yang cukup untuk:
- masing-masing pihak,
- arbiter yanng bersangkutan,
- untuk disimpan di Sekretariat BANI

Para pihak maupun kuasanya harus menjamin bahwa BANI mempunyai alamat terakhir, no.telepon, faksimili, email, yang bersangkutan untuk komunikasi yang diperlukan;

Setiap komunikasi baik dari atau kepada Majelis harus disertai salinannya kepada Sekretariat

2. Apabila Majelis Arbitrase telah dibentuk, setiap pihak tidak boleh melakukan komunikasi dengan satu atau lebih arbiter dengan cara bagaimanapun sehubungan dengan permohonan arbitrase yang bersangkutan, kecuali:
a. dihadiri juga oleh dan disertai pihak lainnya dalam hal berlangsung komunikasi lisan;
b. disertai suatu salinan yang secara bersamaan dikirimkan ke para pihak atau pihak-pihak lainnya dan kepada Sekretariat (dalam hal komunikasi tertulis)
3. Pemberitahuan harus disampaikan langsung, melalui kurir, faksimili, atau email dan dianggap berlaku pada tanggal diterima atau apabila tanggal penerimaan tidak dapat ditentukan, pada hari setelah penyampaian dimaksud, kecuali Majelis menginstruksikan lain;
4. Jangka waktu ditentukan pada hari setelah tanggal dimana pemberitahuan atau komunikasi dianggap berlaku sebagaimana dimaksud diatas;
5. Hari-hari yang dimaksud sesuai dengan hari kalender;
6. Penyelesaian dengan itikad baik secepat mungkin dan tidak akan ditunda atau adanya langkah-langkah lain yang dapat menghambat proses arbitrase yang lancar dan adil;
7. Batas waktu pemeriksaan perkara= 180 hari sejak Majelis secara lengkap terbentuk. Dalam hal sengketa sangat kompleks, Majelis berhak memperpanjang jangka waktu;

PERWAKILAN PARA PIHAK (Pasal 5)
1. Para Pihak maupun Kuasanya dalam pengajuan pertamanya (baik Tuntutan maupun Jawaban) harus mencantumkan :
Nama, data alamat, dan keterangan-keterangan serta kedudukan orang yang mewakili dan harus disertai Surat Kuasa Khusus asli bermaterai cukup serta dibuat salinan yang cukup sebagaimana sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat 1 diatas.
2. Apabila diwakili oleh Penasehat Asing atau Penasehat Hukum asing dalam suatu perkara arbitrase mengenai sengketa yang tunduk pada hukum Indonesia, maka Penasehat asing atau Penasehat Hukum Asing hanya dapat hadir dengan didampingi oleh Penasehat atau Penasehat Hukum Indonesia;
Pengangkatan Arbiter
Syarat Arbiter (penunjukan maupun pengangkatan): (Pasal 12 ayat 1)
a. cakap melakukan tindakan hukum;
b. paling rendal 35 tahun;
c. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat kedua;
d. tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase;
e. memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif dibidangnya paling sedikit 15 tahun;

Hakim, jaksa, panitera, dan pejabat peradilan lainnya tidak dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter (Pasal 12 ayat 2)

ARBITER TUNGGAL
Jika Para Pihak tidak dapat menyepakati pemilihan arbiter atau tidak ada ketentuan pengangkatan arbiter, maka Ketua PN menunjuk arbiter atau majelis arbiter (Ps.13 ayat 1)

Jika para pihak sepakat bahwa penyelesaian sengketa diperiksa dan diputus oleh ARBITER TUNGGAL maka Para Pihak wajib untuk mencapai suatu kesepakatan tentang pengangkatan ARBITER TUNGGAL. (Pasal 14 ayat 1)

Pemohon harus mengusulkan kepada Termohon nama orang yang dapat diangkat sebagai ARBITER TUNGGAL dengan surat tercatat, telegram, teleks, faksimili, email, atau dengan buku ekspedisi (Pasal 14 ayat 2)

Apabila dalam waktu 14 hari setelah Termohon menerima usul Pemohon, Para Pihak tidak berhasil menentukan ARBITER TUNGGAL, atas permohonan dari salah satu pihak, Ketua PN dapat mengangkat ARBITER TUNGGAL; (Pasal 14 ayat 3)

Ketua PN akan mengangkat ARBITER TUNGGAL berdasarkan daftar nama yang disampaikan oleh Para Pihak , ayau diperoleh dari organisasi atau lembaga arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, dengan memperhatikan rekomendasi maupun keberatan Para Pihak terhadap orang yang bersangkutan (Pasal 14 ayat 4)

ARBITER MAJELIS
Para Pihak masing-masing menunjuk 1 orang arbiter dan masing-masing Arbiter tersebut berwenang untuk menunjuk Arbiter ketiga. (Pasal 15 ayat 1)

Arbiter ketiga tersebut diangkat sebagai Ketua Majelis Arbitrase (Pasal 15 ayat 2)

Apabila dalam 30 hari setelah pemberitahuan diterima oleh Pemohon, dan salah satu pihak tidak menunjuk Arbiter, maka Arbiter yang telah ditunjuk oleh Pihak yang lain (Pemohon) akan bertindak sebagai ARBITER TUNGGAL dan putusannya mengikat Para Pihak (Pasal 15 ayat 3)

Jika dua Arbiter yang telah ditunjuk oleh Para Pihak tidak dapat mengangkat Arbiter Ketiga dalam waktu 14 hari, maka atas permohonan salah satu pihak, Ketua PN dapat mengangkat Arbiter Ketiga; (Pasal 15 ayat 4)

Terhadap pengangkatan Arbiter yang dilakukan oleh Ketua PN tersebut tidak dapat dilakukan pembatalan (Pasal 15 ayat 5)

Hak dan Kewajiban Arbiter yang ditunjuk atau diangkat:
Berhak menerima atau menolak, (Pasal 16 ayat 1)
Wajib memberitahukan secara tertulis kepada Pihak dalam waktu 14 hari terhitung sejak tanggal penunjukan atau pengangkatan; (Pasal 16 ayat 2)
Wajib memberitahukan kepada Pihak tentang hal yang mungkin akan mempengaruhi kebebasannya atau menimbulkan keberpihakan putusan yang diberikan. (Pasal 18 ayat 1)

Dengan diterimanya penunjukan tersebut, Arbiter dan Pihak yang menunjuk terjadi Perjanjian Perdata (Pasal 17 ayat 1)

Akibat hukumnya: (Pasal 17 ayat 2)
Arbiter atau Para Arbiter akan memberikan putusan secara jujur, adil, dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
Para Pihak menerima putusan tersebut secara final dan mengikat;

Dalam hal Arbiter yang ditunjuk telah menerima dan menyatakan menarik diri, maka harus mengajukan permohonan penarikan diri kepada para pihak (Pasal 19 ayat 2)

Jika para pihak menyetujui, maka Arbiter tersebut dibebakan dari tugas sebagai Arbiter (Pasal 19 ayat 3)

Pembebasan tugas Arbiter sebagaimana dimaksud ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri (Pasal 19 ayat 4)

Arbiter berwenang untuk memperpanjang jangka waktu tugasnya apabila:
diajukan permohonan oleh salah satu pihak mengenai hal khusus tertentu;
sebagai akibat ditetapkan putusan provisional atau putusan sela lainnya; atau
dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase untuk kepentingan pemerikasaan;


Kriteria-Kriteria Arbiter: (Pasal 9 ayat 3)


Yang berhak menjadi Arbiter
1. Majelis Arbiter
- Kecuali dalam keadaan khusus (Pasal 9 ayat 2 tentang Arbiter Luar)
- Arbiter yang termasuk dalam daftar Arbiter yang disediakan oleh BANI dan atau
- Arbiter yang memiliki sertifikat ADR/Arbitrase yang diakui oleh BANI
Dapat bertindak sebagai Arbiter berdasarkan Peraturan Prosedur ini yang dapat dipilih oleh para pihak.

Daftar BANI terdiri dari para arbiter yang memenuhi syarat yang tinggal di Indonesia dan di berbagai yurisdiksi di seluruh dunia, baik pakar hukum maupun praktisi dan pakar non hukum seperti para ahli teknik, para arsitek dan orang-orang lain yang memenuhi syarat.

2. Arbiter Luar
Arbiter Luar = Arbiter diluar Daftar Arbiter BANI

Jika para pihak memerlukan arbiter yang memiliki keahlian khusus, permohonan dapat diajukan kepada Ketua BANI untuk menunjuk seorang Arbiter yang tidak terdaftar dalam daftar arbiter BANI dengan ketentuan bahwa arbiter yang bersangkutan memenuhi persyarat yang tercantum dalam ayat 1 dan ayat 3 Pasal ini.

Setiap permohonan harus jelas menyatakan alasan diperlukannya Arbiter Luar tersebut dengan disertai DRH lengkap dari Arbiter yang diusulkan.

Apabila Ketua BANI menganggap tidak ada Arbiter dalam daftar Arbiter BANI dengan kualifikasi profesional yang dibutuhkan itu sedangkan Arbiter yang dimohonkan memiliki kualifikasi syarat, netral, dan tepat, maka Ketua BANI dapat berdasarkan pertimbangannya sendiri menyetujui penunjukan Arbiter dimaksud;

Apabila Ketua BANI tidak menyetujui, Ketua BANI harus merekomendasikan Arbiter Alternatif yang dipilih dari Daftar Arbiter BANI atau seorang pakar yang memenuhi syarat dalam bidang yang diperlukan namun tidak terdafatr di BANI. Dewan Pakar dapat mempertimbangkan penunjukan tersebut dengan ketentuan Arbiter tersebut memenuhi syarat dan bersedia memenuhi Peraturan Prosedur BANI, termasuk ketentuan mengenai Biaya Arbiter.

Biaya-biaya yang berhubungan dengan Penujukan Arbiter tersebut ditanggung oleh Pihak yang Menunjuk;

3. Kriteria-Kriteria
berwenang atau cakap melakukan tindakan-tindakan hukum;
sekurang-kurangnya berusia 35 tahun;
tidak memiliki hubungan keluarga berdasar­kan keturunan atau perkawinan sampai dengan keturunan ketiga, dengan setiap dari para pihak bersengketa;
tidak memiliki kepentingan keuangan atau apa pun terhadap hasil penyelesaian arbitrase;
berpengalaman sekurang-kurangnya 15 tahun dan menguasai secara aktif bidang yang dihadapi;
tidak sedang menjalani atau bertindak sebagai hakim, jaksa, panitera pengadilan, atau pejabat pemerintah lainnya.

4. Pernyataan Tidak Berpihak
Arbiter yang ditunjuk harus menandatangani Pernyataan Tidak Berpihak

5. Hukum Indonesia
Apabila menurut perjanjian arbitrase, penunjukan Arbiter diatur menurut hukum Indonesia, maka:
Sekurang-kurangnya seorang Arbiter sebaiknya namun tidak diwajibkan, adalah seorang Sarjana atau Praktisi Hukum yang mengetahui dengan baik hukum di Indonesia dan bertempat tinggal di Indonesia

PERMOHONAN ARBITRASE (PASAL 6)
1. Pendaftaran dan penyampaian permohonan Arbitrase oleh Pemohon pada Sekretariat BANI;
2. Penunjukan Arbiter
Dapat menunjuk Arbiter atau menyerahkannya kepada Ketua BANI;
3. Biaya-biaya
Permohonan disertai dengan pembayaran biaya pendaftaran + biaya administrasi sesuai dengan Ketentuan BANI;

Biaya Administrasi, meliputi:
- Biaya Administrasi Sekretariat,
- Biaya Pemeriksaan Perkara
- Biaya Arbiter
- Biaya Sekretaris Majelis

Apabila ada intervensi, maka intervenee tersebut wajib membayar biaya administrasi dan biaya-biaya lainnya sehubungan dengan intervensinya tersebut;
4. Pemeriksaan Perkara tidak akan dimulai jika Para Pihak tidak melunasi Biaya Adimnistrasi;

PENDAFTARAN (PASAL 7)
Setelah menerima Permohonan, dokumen-dokumen, dan Biaya pendaftaran yang disyaratkan, Sekretariat mendaftarkan Permohonan tersebut dalam register BANI;
Badan Pengurus BANI akan memeriksa Permohonan tersebut untuk menentukan apakah perjanjian arbitrase atau klausul telah cukup untuk menjadi dasar kewenangan BANI untuk memeriksa sengketa tersebut;


TANGGAPAN TERMOHON (Pasal 8)
1. Apabila Badan Pengurus BANI menentukan bahwa BANI berwenang memeriksa, maka setelah pendaftaran Permo­honan tersebut, seorang atau lebih Sekretaris Majelis harus ditunjuk untuk membantu pekerjaan administrasi perkara arbitrase tersebut;
2. Sekretariat harus menyampaikan satu salinan Permohonan Arbitrase dan dokumen-dokumen lampirannya kepada Termohon, dan meminta Termohon untuk menyampaikan tanggapan tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari;
3. Tanggapan
Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah menerima penyampaian Permohonan Arbitrase, Termohon wajib menyampaikan Jawaban. Dalam Jawaban itu, Termohon dapat menunjuk seorang Arbiter atau menyerahkan penunjukan itu kepada Ketua BANI. Apabila, dalam Jawaban tersebut, Termohon tidak menunjuk seorang Arbiter, maka dianggap bahwa penunjukan mutlak telah diserahkan kepada Ketua BANI.
4. Perpanjangan Waktu
Ketua BANI berwenang, atas permohonan Termohon, memperpanjang waktu pengajuan Jawaban dan atau penunjukan arbiter oleh Termohon dengan alasan-alasan yang sah, dengan ketentuan bahwa perpanjangan waktu tersebut tidak boleh melebihi 14 (empat belas) hari.


SUSUNAN MAJELIS (Pasal 10)
Arbiter Tunggal
Kelalaian Penunjukan
Tiga Arbiter
Jumlah tidak ditentukan
Banyak Pihak
Kewenangan Ketua BANI
Penerimaan Para Arbiter

Hak Ingkar Arbiter
Pasal 22-26
Pasal 11
Acara Arbitrase
Sifat Pemeriksaan
Semua pemeriksaan dilakukan secara tertutup (Pasal 27)

Bahasa
Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Indonesia, kecuali Para Pihak memilih bahasa lain (Pasal 28)

Audi et Alteram Parte
Para pihak mempunyai kesempatan yang sama untuk mengemukakan pendapat (Pasal 29 ayat 1)

Kuasa
Para pihak dapat diwakili oleh kuasanya dengan surat kuasa khusus (Pasal 29 ayat 2)

Intervensi
Pihak ketiga dapat turut serta atau menggabungkan diri dalam pemeriksaan apabila terdapat kepentingan yang terkait, dan keikutsertaan tersebut disepakati oleh para pihak yang bersengketa serta disetujui oleh Majelis Arbitrase yang memeriksa sengketa (Pasal 30)

Kebebasan Choice of Law dan Choice of Forum
Para pihak bebas menentukan Acara Arbitrase yang digunakan sepanjang tidak bertentangan dengan UU ini (Ps.31 ayat 1)

Apabila para pihak tidak menentukan Acara Arbitrase yang digunakan maka Arbiter atau Majelis Arbitrase yang diangkat atau ditunjuk menggunakan Acara Arbitrase yang dimaksud dalam UU ini (Pasal 31 ayat 2)

Para Pihak yang memilih Acara Arbitrase sebagaimana dimaksud, harus menyepakati ketentuan jangka waktu dan tempat, jika tidak ditentukan, arbiter atau Majelis Arbitrase yang akan menentukan (Pasal 31 ayat 3)

Putusan Provisionil dan Putusan Sela lainnya
Atas permohonan salah satu pihak, Arbiter atau Majelis Arbitrase dapat mengambil putusan provisional atau putusan sela lainnya untuk mengatur ketertiban jalannya pemeriksaan sengketa termasuk penetapan sita jaminan, memerintahkan penitipan barang kepada pihak ketiga atau menjual barang yang mudah tusak;

Jangka waktu putusan provisional atau putusan sela dimaksud tidak dihitung dalam jangka waktu sebagaiamna dalam Pasal 48

Pemohon Menyampaikan Tuntutan
Pemohon menyampaikan Surat Tuntutannya kepada Arbiter atau Majelis Arbitrase dalam jangka waktu yang telah ditentukan oleh Arbiter atau Majelis Arbitrase (Pasal 38 ayat 1)

Surat Tuntutan berisi: (Pasal 38 ayat 2)
a. nama lengkap dan tempat tinggal atau tempat kedudukan para pihak;
b. uraian singkat tentang sengketa disertai dengan lampiran bukti-bukti;
c. isi tuntutan yang jelas;

Sebelum Pemeriksaan/Sidang Arbitrase
Surat tuntutan dari Pemohon tersebut oleh Arbiter atau Majelis Arbitrase disampaikan kepada Termohon, dengan disertai perintah bahwa Termohon harus menanggapi dan memberikan jawabannya secara tertulis dalam waktu 14 hari sejak diterimanya tuntutan tersebut oleh Termohon (Pasal 39)

Segera setelah diterimanaya jawaban dari Termohon, salinan jawaban tersebut oleh Arbiter atau Majelis Arbitrase disampaikan kepada Pemohon; (Pasal 40 ayat 1)

Bersamaan dengan itu, Arbiter atau Majelis Arbitrase, memerintahkan Para Pihak atau kuasanya untuk menghadap di muka sidang Arbitrase yang ditetapkan paling lama 14 hari terhitung mulai hari dikeluarkannya perintah itu; (Pasal 40 ayat 2)

Jika lewat 14 hari Termohon tidak menyampaikan jawabannya maka akan dipanggil dengan ketentuan Pasal 40 ayat 2. (Pasal 41)

Ketidakhadiran Pemohon
Apabila tanpa alasan yang sah Pemohon tidak datang, sedangkan telah dipanggil secara patut, maka surat tuntutannya dinyatakan gugur arbiter atau majelis arbitrase dianggap selesai. (pasal 43)

Ketidakhadiran Termohon
- Apabila tanpa alasan yang sah Termohon tidak datang, sedangkan telah dipanggil secara patut, maka dipanggil sekali lagi (pasal 44 ayat 1)
- Paling lama 10 hari setelah pemanggilan kedua diterima Termohon dan tanpa alasan yang sah tidak hadir dipersidangan, maka pemeriksaan dilanjutkan tanpa hadirnya termohon dan tuntutan pemohon dikabulkan seluruhnya, kecuali jika tuntutan tidak beralasan atau tidak berdasar hukum. (Pasal 44 ayat 2)

Upaya Perdamaian
Pada hari pertama persidangan yang dihadiri Para Pihak, Arbiter atau Majelis Arbitrase mengusahakan Perdamaian. (Pasal 45 ayat 1)

Jika perdamaian tersebut tercapai, Arbiter atau Majelis membuat suatu Akta Perdamaian yang final dan mengikat para pihak dan memerintahkan para pihak untuk memenuhi ketentuan Perdamaian tersebut. (Pasal 45 ayat 2)

Pemeriksaan Arbitrase
- Dilakukan apabila Perdamaian diantara Para Pihak tidak berhasil (Pasal 46 ayat 1)
- Para Pihak diberi kesempatan untuk: menjelaskan secara tertulis pendirian masing-masing disertai bukti yang dianggap perlu dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh Arbiter atau Majelis (Pasal 46 ayat 2)
- Arbiter atau Majelis berhak meminta penjelasan tambahan secara tertulis, dokumen atau bukti lain yang dianggap perlu dalam jangka waktu yang ditentukan oleh Arbiter atau Majelis Arbitrase; (Pasal 46 ayat 3)

Pencabutan dan Perubahan Tuntutan
- Sebelum Termohon menyampaikan Jawaban, Pemohon dapat mencabut Surat Permohonan untuk menyelesaikan sengketa melalui Arbitrase (Pasal 47 ayat 1)
- Jika sudah ada Jawaban dari Termohon, maka perubahan atau penambahan hanya diperbolehkan dengan persetujuan Termohon dan sepanjang hanya menyangkut fakta, bukan menyangkut dasar-dasar yang menjadi dasar permohonan; (Pasal 47 ayat 2)

Lama Pemeriksaan
- paling lama 180 hari sejak arbiter atau Majelis Arbitrase terbentuk (Pasal 48 ayat 1)
- Dapat diperpanjang dengan persetujuan para pihak (Pasal 48 ayat 2)

Saksi dan Saksi Ahli
- Saksi atau Saksi Ahli dapat dipanggil (Pasal 49 ayat 1):
atas perintah Arbiter atau Majelis Arbitrase
atas permintaan para pihak
- Biaya menjadi beban Pihak yang meminta; (Pasal 49 ayat 2)
- Wajib mengucapkan sumpah sebelum memberikan keterangan (Pasal 49 ayat 3)

Berita Acara Pemeriksaan
Terhadap kegiatan dalam pemeriksaan dan siding arbitrase dibuat Berita Acara Pemeriksaan oleh Sekretaris (Pasal 51 )

Keterlambatan Dalam Memberikan Putusan
Dalam hal Arbiter atau Majelis Arbitrase tanpa alasan yang sah tidak memberikan putusan dalam jangka waktu yang telah ditentukan, arbiter dapat dihukum untuk mengganti biaya dan kerugian yang diakibatkan karena kelambatan tersebut kepada para pihak (Pasal 20)

Imunitas Arbiter
Arbiter atau Majelis Arbitrasi tidak dapat dikenakan tanggungjawab hukum atas segala tindakan yang diambil selama proses persidangan berlangsung untuk menjalankan fungsinya sebagai arbiter atau Majelis Arbiter, kecuali ddapat dibuktikan adanya itikad tidak baik dari tindakan tersebut. (Pasal 21)

Ketentuan-ketentuan Umum Persidangan (Pasal 13)
1. Kewenangan Majelis
2. Kerahasiaan
3. Dasar Keadilan
4. Tempat Sidang

Bahasa
Bahasa Pemeriksaan
Bahasa Dokumen
Penerjemah
Bahasa Putusan
Pasal 15. Hukum Yang Berlaku
1. Hukum Yang Mengatur
Hukum yang mengatur materi sengketa adalah hukum yang dipilih dalam perjanjian komersial bersangkutan yang menimbulkan sengketa antara para pihak. Dalam hal oleh para pihak dalam perjanjian tidak ditetapkan tentang hu­kum yang mengatur, para pihak bebas memilih hukum yang berlaku berdasarkan kesepakatan bersama. Dalam hal kesepakatan itu tidak ada, Majelis berhak menerapkan keten­tuan-ketentuan hukum yang dianggap perlu, dengan memper­timbangkan keadaan-keadaan yang menyangkut permasalahannya.
2. Ketentuan-ketentuan Kontrak
Dalam menerapkan hukum yang berlaku, Majelis harus mempertimbangkan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian serta praktek dan kebiasaan yang relevan dalam kegiatan bisnis yang bersangkutan.
3. Ex Aequo et Bono
Majelis dapat menerapkan kewenangan yang bersifat amicable compositeur dan/atau memu­tuskan secara ex aequo et bono, apabila para pihak telah menyatakan kesepakatan mengenai hal itu.

Pasal 16. Surat Permohonan Arbitrase
1. Pengajuan
Surat Permohonan Arbitrase, yang berisi Tuntutan Pemohon yang disampaikan kepada BANI, oleh BANI, setelah Majelis terbentuk, diteruskan kepada setiap anggota Majelis dan pihak lain (para pihak).
2. Syarat-syarat
Surat Permohonan Arbitrase harus memuat sekurang-kurangnya:
a. Nama dan alamat para pihak;
b. Keterangan tentang fakta-fakta yang mendu­kung Permohonan Arbitrase;
c. Butir-butir permasalahannya; dan
d. Besarnya tuntutan kompensasi yang dituntut.
3. Dokumentasi
Pemohon harus melampirkan pada Surat Permohonan tersebut suatu salinan perjanjian bersangkutan atau perjanjian-perjanjian yang terkait sehubungan sengketa yang bersangkutan dan suatu salinan perjanjian arbitrase (jika tidak termasuk dalam perjanjian dimaksud), dan dapat pula melampirkan dokumen-dokumen lain yang oleh Pemohon dianggap relevan. Apabila dokumen-dokumen tambahan atau bukti lain dimaksudkan akan diajukan kemu­dian, Pemohon harus menegaskan hal itu dalam Surat Permohonan tersebut.
Pasal 17. Surat Jawaban Atas Tuntutan
1. Pengajuan
Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari Termohon harus mengajukan Surat Jawaban kepada BANI untuk disampaikan kepada Majelis dan Pemohon.
2. Syarat-syarat
Termohon harus, dalam Surat Jawabannya, mengemukakan pendapatnya tentang hal-hal sebagaimana dimaksud dalam huruf (b) dan (c) Pasal 16 ayat (2) diatas. Termohon juga dapat melampirkan dalam Surat Jawabannya, doku­men-dokumen yang dijadikan sebagai dasar atau menunjuk pada setiap dokumen-dokumen tambahan atau bukti lain yang akan diajukan kemudian.
3. Tuntutan Balik
a. Apabila Termohon bermaksud mengajukan suatu tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian sehubungan dengan sengketa atau tuntutan yang bersangkutan sebagai-mana yang diajukan Pemohon, Termohon dapat mengajukan tuntutan balik (rekon­vensi) atau upaya penyelesaian tersebut bersama dengan Surat Jawaban atau selam­bat-lambatnya pada sidang pertama. Majelis berwenang, atas permintaan Termohon, untuk memperkenankan tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian itu agar diajukan pada suatu tanggal kemudian apabila Termohon dapat menjamin bahwa penundaan itu beralasan sesuai ketentuan-ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan (2) dan Pasal 16 ayat (2) dan (3).
b. Atas tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian tersebut dikenakan biaya tersendiri sesuai dengan cara perhitungan pem­bebanan biaya adminsitrasi yang dila­kukan terhadap tuntutan pokok (konvensi) yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak berdasarkan Peraturan Prosedur dan daftar biaya yang berlaku yang ditetapkan oleh BANI dari waktu ke waktu. Apabila biaya adminis­trasi untuk tuntutan balik (rekon-vensi) atau upaya penyelesaian tersebut telah dibayar para pihak, maka tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian akan diperiksa, dipertimbangkan dan diputus secara bersama-sama dengan tuntutan pokok.
c. Kelalaian para pihak atau salah satu dari mereka, untuk membayar biaya administrasi sehubungan dengan tuntutan balik atau upaya penyelesaian tidak menghalangi ataupun menunda kelanjutan penyelengga-raan arbitrase sehubungan dengan tuntutan pokok (konvensi) sejauh biaya administrasi sehubungan dengan tuntutan pokok (kon­vensi) tersebut telah dibayar, seolah-olah tidak ada tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian tuntutan.
4. Jawaban Tuntutan Balik
Dalam hal Termohon telah mengajukan suatu tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian, Pemohon (yang dalam hal itu menjadi Termohon), berhak dalam jangka waktu 30 hari atau jangka waktu lain yang ditetapkan oleh Majelis, untuk mengajukan jawaban atas tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian tersebut berdasarkan ketentuan-ketentuan Pasal 17 ayat (2) diatas.
Pasal 18. Yurisdiksi
1. Kompetensi Kompetensi
Majelis berhak menyatakan keberatan atas pernyataan bahwa ia tidak berwenang, termasuk keberatan yang berhubungan dengan adanya atau keabsahan perjanjian arbitrase jika terdapat alasan untuk itu.
2. Klausul Arbitrase Independen
Majelis berhak menentukan adanya atau keabsahan suatu perjanjian di mana klausula arbitrase merupakan bagian. Suatu klausula arbitrase yang menjadi bagian dari suatu perjanjian, harus diperlakukan sebagai suatu perjanjian terpisah dari ketentuan-ketentuan lainnya dalam perjanjian yang bersangkutan. Keputusan Majelis bahwa suatu kontrak batal demi hukum tidak dengan sendirinya membatal­kan validitas klausula arbitrase.
3. Batas Waktu Bantahan
Suatu dalih berupa bantahan bahwa Majelis tidak berwenang harus dikemukakan sekurang-kurangnya dalam Surat Jawaban atau, dalam hal tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian dalam jawaban terhadap tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian tersebut.
4. Putusan Sela
Dalam keadaan yang biasa, Majelis akan menetapkan putusan yang menolak masalah yurisdiksi sebagai suatu Putusan Sela. Namun, apabila dipandang perlu Majelis dapat melanjutkan proses arbitrase dan memutuskan masalah tersebut dalam Putusan akhir.
Pasal 19. Dokumen-Dokumen dan Penetapan-Penetapan
1. Prosedur Persidangan
Setelah menerima berkas perkara, Majelis harus menentukan, atas pertimbangan sendiri apakah sengketa dapat diputuskan berdasarkan dokumen-dokumen saja, atau perlu memanggil para pihak untuk datang pada persidangan. Untuk maksud tersebut Majelis dapat memanggil untuk sidang pertama dimana mengenai pengajuan dokumen-dokumen jika ada atau mengenai persidangan jika diadakan, ataupun mengenai masalah-masalah prosedural, dapat dikomunikasikan dengan para pihak secara langsung ataupun melalui Sekretariat BANI.
2. Penetapan-penetapan prosedural.
Majelis, berdasarkan ketentuan-ketentuan ini, berhak penuh menentukan prosedur dan membuat penetapan-penetapan yang dianggap perlu, dimana penetapan-penetapan tersebut mengikat para pihak. Apabila dipandang perlu, Majelis dapat membuat ikhtisar masalah-masalah yang akan diputus (terms of reference) yang ditandatangani Majelis dan para pihak. Setidak-tidaknya Sekretaris Majelis harus membuat berita acara pemeriksaan dan pene­tapan-penetapan prosedural dari Majelis, berita acara mana, setelah ditandatangani oleh Majelis, menjadi dokumen pemeriksaan dan bahan bagi Majelis dalam proses pemeriksaan selanjutnya.
3. Catatan.
Dalam hal masing-masing pihak ingin membuat suatu catatan sendiri mengenai pemeriksaan atau sebagian dari pemeriksaan, atas persetujuan Majelis, pihak yang bersangkutan dapat meminta jasa petugas pencatat atau sekretaris independen untuk hal tersebut yang akan menyampaikan catatannya kepada Majelis untuk diteruskan kepada para pihak. Biaya pembuatan catatan itu adalah atas tanggungan pihak atau pihak-pihak yang meminta, dan biaya tersebut harus dibayar dimuka kepada BANI untuk dibayarkan kemudian kepada petugas bersangkutan setelah menerima bukti penagihan.
4. Biaya harus dibayar.
Pemeriksaan atas perkara dan atau sidang tidak akan dilangsungkan sebelum seluruh biaya-biaya arbitrase, sebagaimana diberitahukan oleh Sekretariat kepada para pihak berdasarkan besarnya skala dari tuntutan dan daftar biaya yang dari waktu ke waktu diumumkan oleh BANI, telah dibayar lunas oleh salah satu atau kedua belah pihak.
5. Putusan Sela
Majelis berhak menetapkan putusan provisi atau putusan sela yang dianggap perlu sehubungan dengan penyelesaian sengketa bersangkutan, termasuk untuk menetapkan suatu putusan tentang sita jaminan, memerintahkan penyim­panan barang pada pihak ketiga, atau penjualan barang-barang yang tidak akan tahan lama. Majelis berhak meminta jaminan atas biaya-biaya yang berhubungan dengan tindakan-tindakan tersebut.
6. Sanksi-sanksi
Majelis berhak menetapkan sanksi atas pihak yang lalai atau menolak untuk menaati aturan tata-tertib yang dibuatnya atau sebaliknya melakukan tindakan yang menghambat proses pemeriksaan sengketa oleh Majelis.

Pasal 20. Upaya Mencari Penyelesaian Damai
1. Penyelesaian Damai
Majelis pertama-tama harus mengupayakan agar para pihak mencari jalan penyelesaian damai, baik atas upaya para pihak sendiri atau dengan bantuan mediator atau pihak ketiga lainnya yang independen atau dengan bantuan Majelis jika disepakati oleh para pihak.
2. Putusan Persetujuan Damai
Apabila suatu penyelesaian damai dapat dicapai, Majelis akan menyiapkan suatu memorandum mengenai persetujuan damai tersebut secara tertulis yang memiliki kekuatan hukum dan mengikat kedua belah pihak serta dapat dilak­sanakan dengan cara yang sama sebagai suatu Putusan dari Majelis.
3. Kegagalan Menyelesaikan secara damai
Apabila tidak berhasil dicapai penyelesaian damai, Majelis akan melanjutkan prosedur arbitrase sesuai ketentuan dalam Peraturan ini.
Pasal 21. Kelalaian Penyelesaian
1. Kelalaian Pemohon
Dalam hal Pemohon lalai dan/atau tidak datang pada sidang pertama yang diselenggarakan oleh Majelis tanpa suatu alasan yang syah, maka Majelis dapat menyatakan Permohonan Arbitrase batal.
2. Kelalaian Termohon
Dalam hal Termohon lalai mengajukan Surat Jawaban, Majelis harus menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Termohon dan dapat memberikan perpanjangan jangka waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari untuk mengajukan Jawaban dan/atau datang ke persidangan. Dalam hal Termohon juga tidak datang ke persidangan setelah dipanggil secara patut dan juga tidak mengajukan Jawaban tertulis, Majelis harus memberitahukan untuk kedua kalinya kepada Termohon agar datang atau menyampaikan Jawaban. Apabila Termo-hon lalai menjawab untuk kedua kalinya tanpa alasan yang sah, Majelis serta-merta dapat memutuskan dan mengeluarkan putusan berdasarkan dokumen-dokumen dan bukti yang telah diajukan Pemohon.

Pasal 22. Perubahan-perubahan dan Pengajuan-pengajuan Selanjutnya
1. Perubahan-perubahan
Apabila pengajuan-pengajuan sebagaimana dimaksud diatas telah lengkap, dan apabila sidang pertama telah dilangsungkan, para pihak tidak berhak mengubah tuntutan dan/atau jawaban mereka sepanjang menyangkut materi perkara, kecuali Majelis dan para pihak menyetujui perubahan tersebut. Namun demikian, tidak diperkenankan mengubah tuntutan yang keluar dari lingkup perjanjian arbitrase.
2. Pengajuan-pengajuan lebih lanjut
Majelis harus memutuskan tentang bukti-bukti tambahan dan/atau keterangan tertulis tambahan, selain Surat Permohonan Arbitrase yang merupakan surat tuntutan dan Surat Jawaban, yang diperlukan dari para pihak atau diajukan para pihak, dimana Majelis harus menetapkan jangka waktu untuk penyampaian hal-hal tersebut. Majelis tidak wajib memper­timbangkan setiap pengajuan tambahan selain yang telah ditetapkannya.
Pasal 23. Bukti dan Persidangan
1. Beban Pembuktian
Setiap pihak wajib menjelaskan posisi masing-masing, untuk mengajukan bukti yang menguatkan posisinya dan untuk membuktikan fakta-fakta yang dijadikan dasar tuntutan atau jawaban.
2. Ringkasan Bukti-bukti
Majelis dapat, apabila dianggap perlu, meminta para pihak untuk memberikan penjelasan atau mengajukan dokumen-dokumen yang dianggap perlu dan/atau untuk menyampaikan ringkasan seluruh dokumen dan bukti lain yang telah dan/atau akan diajukan oleh pihak tersebut guna mendukung fakta-fakta dalam Surat Permo­honan Tuntutan atau Surat Jawaban, dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh Majelis.
3. Bobot Pembuktian
Majelis harus menentukan apakah bukti-bukti dapat diterima, relevan dan menyangkut materi permasalahan dan memiliki kekuatan bukti.
4. Saksi-saksi
Apabila Majelis menganggap perlu dan/atau atas permintaan masing-masing pihak, saksi-saksi ahli atau saksi-saksi yang berkaitan fakta-fakta dapat dipanggil. Saksi-saksi tersebut oleh Majelis dapat diminta untuk memberikan kesaksian mereka dalam bentuk tertulis. Majelis dapat menentukan, atas pertimbangannya sendiri atau atas permintaan masing-masing pihak, apakah perlu mendengar kesaksian lisan saksi-saksi tersebut.
5. Biaya Para Saksi
Pihak yang meminta pemanggilan seorang saksi atau saksi ahli harus membayar dimuka seluruh ongkos yang diperlukan berhubung dengan kehadiran saksi tersebut. Untuk maksud tersebut Majelis dapat meminta agar terlebih dahulu disetorkan suatu deposit kepada BANI
6. Sumpah
Sebelum memberikan kesaksian mereka, para saksi atau saksi-saksi ahli tersebut dapat diminta untuk diambil sumpahnya atau mengucapkan janji.
7. Penutupan Persidangan
Jika pengajuan bukti, kesaksian dan persidangan telah dianggap cukup oleh Majelis, maka persidangan mengenai sengketa tersebut ditutup oleh Ketua Majelis yang kemudian dapat menetapkan suatu sidang untuk penyampaian Putusan akhir.
Pasal 24. Pencabutan Arbitrase
1. Pencabutan.
Sepanjang Majelis belum mengeluarkan putusannya, Pemohon berhak mencabut tuntutannya melalui pemberitahuan tertulis kepada Majelis, pihak lain dan BANI. Namun demikian apa­bila Termohon telah mengajukan Surat Jawaban, dan/atau tuntutan balik (rekonvensi), maka tuntutan hanya dapat dicabut kembali dengan persetujuan Termohon. Apabila para pihak sepakat untuk mencabut tuntutan/perkara setelah sidang dimulai, maka pencabutan tersebut dilakukan dengan penetapan putusan oleh Majelis.
2. Pengembalian Pembayaran Biaya-biaya.
Dalam hal persidangan belum dimulai, seluruh ongkos yang dibayar, kecuali biaya pendaftaran, dikembalikan kepada Pemohon dimana dilakukan perhitungan dengan biaya-biaya administrasi Sekretariat BANI yang telah dikeluarkan. Apabila persidangan atau rapat-rapat musyawarah telah dimulai, maka biaya administrasi, termasuk ongkos-ongkos yang menjadi hak para arbiter yang dianggap wajar oleh Ketua BANI, setelah berkonsultasi dengan Majelis, akan diperhitungkan dalam pengem­balian tersebut.

Pendapat dan Putusan Arbitrase
(Pasal 52-58)
Pendapat Arbiter atau Majelis Arbitrase
- Para Pihak berhak atas Pendapat yang mengikat dari lembaga arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari suatu Perjanjian (Pasal 52)
- Terhadap putusan yang mengikat tersebut tidak dapat dilakukan perlawanan melalui upaya hukum apapun (Pasal 53)

Putusan Arbiter atau Majelis Arbitrase
- Putusan memuat: (Ps.54 ayat 1)
a. kepala putusan yang berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”
b. nama lengkap dan alamat para pihak;
c. uraian singkat sengketa;
d. pendirian para pihak;
e. nama lengkap dan alamat arbiter;
f. pertimbangan dan kesimpulan arbiter atau majelis arbitrase mengenai keseluruhan sengketa;
g. pendapat tiap-tiap arbiter dalam hal terdapat perbedaan pendapat dalam majelis arbitrase;
h. amar putusan;
i. tempat dan tanggal putusan; dan
j. tanda tangan arbiter atau majelis arbiter;

- Tidak ditandatanganinya putusan Arbitrase oleh salah seorang arbiter dengan alasan sakit atau meninggal dunia tidak mempengaruhi kekuatan berlakunya putusan karena tidak terpenuhinya syarat tersebut (Pasal 54 ayat 2)
- Alasan tidak adanya tanda tangan sebagaimana dimaksud harus dicantumkan dalam Putusan (Pasal 54 ayat 3)

Apabila pemeriksaan telah selesai, pemeriksaan segera ditutup dan ditetapkan hari sidang untuk mengucapkan arbitrase ( Pasal 55)

Putusan tersebut diucapkan paling lambat 30 hari setelah pemeriksaan ditutup (Pasal 56 ayat 1)

Paling lambat 14 hari setelah Putusan diterima, Para Pihak dapat mengajukan KOREKSI terhadap kekeliruan administratif dan atau menambah atau mengurangi sesuatu tuntutan putusan; (Pasal 58)

Pasal 25. Putusan Akhir
Majelis wajib menetapkan Putusan akhir dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak ditutupnya persidangan, kecuali Majelis mempertimbangkan bahwa jangka waktu tersebut perlu diperpanjang secukupnya.
Pasal 26. Putusan-Putusan Lain
Selain menetapkan Putusan akhir, Majelis juga berhak menetapkan putusan-putusan pendahuluan, sela atau Putusan-putusan parsial.
Pasal 27. Mayoritas
Apabila Majelis terdiri dari tiga (atau lebih) arbiter, maka setiap putusan atau putusan lain dari Majelis, harus ditetapkan berdasarkan suatu putusan mayoritas para arbiter.
Apabila terdapat perbedaan pendapat dari arbiter mengenai bagian tertentu dari putusan, maka perbedaan tersebut harus dicantumkan dalam Putusan.
Apabila diantara para arbiter tidak terdapat kesepakatan mengenai putusan atau bagian dari putusan yang akan diambil, maka putusan Ketua Majelis mengenai hal yang bersangkutan yang dianggap berlaku.
Pasal 28. Penetapan-penetapan Prosedural
Untuk hal-hal yang bersifat prosedural, apabila tidak terdapat kesepakatan mayoritas, dan apabila Majelis menguasakan untuk hal tersebut, Ketua Majelis dapat memutuskan atas pertimbangan sendiri.
Pasal 29. Pertimbangan Putusan
Putusan harus dibuat tertulis dan harus memuat pertimbangan-pertimbangan yang menjadi dasar Putusan tersebut, kecuali para pihak setuju bahwa pertimbangan-pertimbangan itu tidak perlu dicantumkan.
Putusan Majelis ditetapkan berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum atau berdasarkan keadilan dan kepatutan.
Pasal 30. Penandatanganan Putusan
Putusan harus ditandatangani para arbiter dan harus memuat tanggal dan tempat dikeluarkannya. Apabila ada tiga Arbiter dan satu dari mereka tidak menandatangani, maka dalam Putusan tersebut harus dinyatakan alasannya.
Pasal 31. Penyampaian
Dalam waktu 14 (empat belas) hari, Putusan yang telah ditandatangani para arbiter tersebut harus disampaikan kepada setiap pihak, bersama 2 (dua) lembar salinan untuk BANI, dimana salah satu dari salinan itu akan didaftarkan oleh BANI di Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Pasal 32. Final dan Mengikat
Putusan bersifat final dan mengikat para pihak. Para pihak menjamin akan langsung melaksanakan Putusan tersebut.
Dalam Putusan tersebut, Majelis menetapkan suatu batas waktu bagi pihak yang kalah untuk melaksanakan Putusan dimana dalam Putusan Majelis dapat menetapkan sanksi dan/atau denda dan/atau tingkat bunga dalam jumlah yang wajar apabila pihak yang kalah lalai dalam melaksanakan Putusan itu.

PELAKSANAAN PUTUSAN
ARBITRASE NASIONAL (Pasal 59-64)
Paling lama 30 hari sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera PN; (Pasal 59 ayat 1)

Penyerahan dan pendaftaran tersebut dilakukan dengan pencatatan dan penandatanganan pada bagian akhir atau dipinggir putusan oleh Panitera PN dan arbiter atau kuasanya yang menyerahkan, dan catatan tersebut merupakan akta pendaftaran; (Pasal 59 ayat 2)

Arbiter atau kuasanya wajib menyerahkan putusan dan lembar asli pengangkatan sebagai arbiter atau salinan otentiknya kepada Panitera PN; (Pasal 59 ayat 3)

Akibat hukum jika Pasal 59 ayat 1 tidak dipenuhi: Putusan Arbitrase tidak dapat dilaksanakan (Pasal 59 ayat 4)

Semua biaya yang berhubungan dengan pembuatan akta pendaftaran dibebankan kepada Para Pihak (Pasal 59 ayat 5)

Sifat putusan Arbitrase: (Pasal 60)
- final
- mempunyai kekuatan hukum tetap
- mengikat para pihak

Jika para pihak tidak melaksanakan Putusan Arbitrase (Pasal 61):
Putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua PN atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa;

Perintah Ketua PN tersebut diberikan paling lambat 30 hari setelah permohonan eksekusi didaftarkan ke Panitera PN; (Pasal 62 ayat 1)

Sebelum memberikan perintah, Ketua PN memriksa apakah putusan arbitrase memenuhi ketentuan Pasal 4 dan 5, serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum; (Pasal 62 ayat 2)

Jika ternyata putusan tersebut tidak memnuhi ketentuan sebagaimana dimaksud, maka Ketua PN menolak permohonan pelaksanaan putusan dan terhadap putusan Ketua PN tersebut tidak terbuka upaya hukum apapun; (Pasal 62 ayat 3)

Ketua PN tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari Putusan Arbitrase; (Pasal 62 ayat 4)

Perintah tersebut ditulis pada lembar asli dan salinan otentik Putusan Arbitrase yang dikeluarkan; (Pasal 63)

Putusan Arbitrase yang telah dibubuhi perintah Ketua PN dilaksanakan sesuai dengan Putusan Perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (Pasal 64)

ARBITRASE INTERNASIONAL
Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional = PN Jakarta Pusat (Pasal 65)

Putusan Arbitrase Internasional hanya dapat diakui dan dilaksanakan di wilayah RI dengan syarat: (Pasal 66)
Putusan dijatuhkan oleh Arbiter atau Majelis Arbitrase di suatu Negara yang dengan Indonesia terkait pada Perjanjian, baik bilateral atau multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional;
Putusan terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup perdagangan;
Putusan terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum;
Putusan telah memperoleh eksekuatur dari Ketua PN Jakarta Pusat; dan
Putusan yang menyangkut Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan jika telah memperoleh ejsekuatur dari MA yang selanjutnya dilimpahkan kepada PN Jakarta Pusat;

Pasal 33. Pendaftaran
Kerahasiaan proses arbitrase tidak berarti mencegah pendaftaran Putusan pada Pengadilan Negeri ataupun pengajuannya ke Pengadilan Negeri dimanapun dimana pihak yang menang dapat meminta pelaksanaan dan/atau eksekusi Putusan tersebut.

PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE
UNSUR-UNSUR PUTUSNA YANG DAPAT DIAJUKAN PEMBATALAN:
Para Pihak dapat mengajukan Pembatalan Putusan jika diduga mengandung unsur-unsur sbg brk: (Pasal 70)
surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu dan dinyatakan palsu;
setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau
putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.

JANGKA WAKTU PERMOHONAN PEMBATALAN
Permohonan Pembatalan diajukan tertulis dalam jangka waktu 30 hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera PN; (Pasal 71)

LEMBAGA YANG BERWENANG MEMBATALKAN
Permohonan diajukan kepada Ketua PN (Pasal 72 ayat 1)

Jika permohonan tersebut dikabulkan, Ketua PN menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase; (Pasal 72 ayat 2)

Putusan Ketua PN tersebut harus ditetapkan palig lambat 30 hari sejak permohonan pembatalan diterima (Pasal 72 ayat 3)

Putusan Ketua PN tersebut dapat diajukan BANDING ke MA yang memutus tingkat pertama dan terakhir; (Pa)sal 72 ayat 4)

MA mempertimbangkan dan memutuskan permohonan banding dalam waktu 30 hari setelah permohnan banding tersebut diterima oleh MA; (Pasal 72 ayat 5)

Pasal 34. Pembetulan Kesalahan-Kesalahan
Dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah Putusan diterima, para pihak dapat mengajukan permohonan ke BANI agar Majelis memperbaiki kesalahan-kesalahan administratif yang mungkin terjadi dan/atau untuk menambah atau menghapus sesuatu apabila dalam Putusan tersebut sesuatu tuntutan tidak disinggung.

BERAKHIRNYA TUGAS ARBITER
Tugas Arbiter berakhir karena: (Pasal 73)
putusan mengenai sengketa telah diambil;
jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian arbitrase atau sesudah diperpanjang oleh parpihak telah lampau; atau
para pihak sepakat untuk menarik kembali penunjukan arbiter;

Meninggalnya salah satu Pihak tidak mengakibatkan berakhirnya tugas arbitrasi (Pasal 74 ayat 1)

Tugas Arbiter ditunda 60 hari sejak meninggalnya salah satu Pihak (Pasal 74 ayat 2)


BIAYA ARBIRASE
Biaya Arbitrase meliputi :(Pasal 76 ayat 2)
Honorarium Arbiter;
Biaya saksi dan atau saksi ahli yang dikeluarkan oleh Arbiter;
Biaya saksi atau saksi ahli yang diperlukan dalam pemeriksaan sengketa; dan
Biaya administrasi;
Pasal 35. Daftar Biaya
Biaya arbitrase ditetapkan dalam suatu daftar terpisah dan terlampir pada Peraturan Prosedur ini. Daftar tersebut dapat diperbaiki atau diubah dari waktu ke waktu apabila dipandang perlu oleh BANI.
Pasal 36. Pembayaran Biaya
BANI harus menagih kepada setiap pihak setengah dari estimasi biaya arbitrase, dan memberikan jangka waktu secepatnya untuk membayarnya. Apabila suatu pihak lalai membayar bagiannya, maka jumlah yang sama harus dibayarkan oleh pihak lain yang kemudian akan diperhitungkan dalam Putusan dengan kewajiban pihak yang lalai membayar tersebut.
BANI atas permintaan Majelis yang bersangkutan dapat meminta penambahan biaya dari waktu ke waktu selama berlangsungnya arbitrase apabila Majelis menganggap bahwa perkara yang sedang diperiksa atau besarnya tuntutan ternyata telah meningkat daripada yang semula diperkirakan.
Pasal 37. Alokasi
Majelis berwenang menentukan pihak mana yang harus bertanggung jawab untuk membayar, atau melakukan pengembalian pembayaran kepada pihak lain, untuk seluruh atau sebagian biaya-biaya itu, pembagian mana harus dicantumkan dalam Putusan.
Pada umumnya apabila salah satu pihak sepenuhnya berhasil dalam tuntutannya maka pihak lawannya memikul seluruh biaya dan apabila masing-masing pihak berhasil memperoleh sebagian dari tuntutan­nya, biaya-biaya menjadi beban kedua belah pihak secara proporsional.
Pasal 38. Biaya-biaya Jasa Hukum
Kecuali dalam keadaan-keadaan khusus, biaya-biaya jasa hukum dari masing-masing pihak harus ditanggung oleh pihak yang memakai jasa hukum tersebut dan biasanya tidak akan diperhitungkan terhadap pihak lainnya. Namun apabila Majelis menentukan bahwa suatu tuntutan menjadi rumit atau bahwa suatu pihak secara tidak sepatutnya menyebabkan timbulnya kesulitan-kesulitan atau hambatan-hambatan dalam kemajuan proses arbitrase, maka biaya jasa hukum dapat dilimpahkan kepada pihak yang menimbulkan kesulitan tersebut.
Pasal 39. Biaya-biaya Eksekusi
Biaya-biaya eksekusi Putusan ditanggung oleh pihak yang kalah dan yang lalai untuk memenuhi ketentun-ketentuan dalam Putusan.

Friday, May 15, 2009

Hukum Waris di Indonesia (3)

3. HUKUM WARIS ADAT

Hukum waris adat di Indonesia dilaksanakan menurut adapt masyarakat masing-masing, baik yang bersifat sukuisme maupun rasial.
1. Hukum Adat Jawa, (Sistem hukum parental, pancar Ayah dan Pancar Ibu)
2. Hukum Adat Sunda,
3. Hukum Adat Minangkabau,
4. Hukum Adat Batak,
5. Hukum Adat Banjar,
6. Hukum Adat Dayak
7. Hukum Adat Bali
8. Hukum Adat masyarakat di berbagai suku-suku di Indonesia lainnya
9. Hukum Adat Tiong Hoa,
10. Hukum Adat ras-ras lain yang bertempat tinggal atau menjadi penduduk di Indonesia;


BERSAMBUNG

Hukum Waris di Indonesia (2)

2. HUKUM WARIS ISLAM

Hukum waris Islam diatur dalam Al Qur’an, As Sunah, dan Ijma’ yang di Indonesia hal ini sudah dikodifikasi dalam Kompilasi Hukum Islam Buku II Pasal 171-214.

Pasal 175 KHI:
(1) Kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah:
mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai;
menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan, termasuk kewajiban pewaris maupun penagih piutang;
menyelesaikan wasiat pewaris;
membagi harta warisan di antara wahli waris yang berhak.
(2) Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya.


DERAJAT DAN URUTAN AHLI WARIS:
(Lih. http://media.isnet.org/islam/Waris/index.html)
1. Ashhabul furudh. Golongan inilah yang pertama diberi bagian harta warisan. Mereka adalah orang-orang yang telah ditentukan bagiannya dalam Al-Qur'an, As-Sunnah, dan ijma'.
2. Ashabat nasabiyah. Setelah ashhabul furudh, barulah ashabat nasabiyah menerima bagian. Ashabat nasabiyah yaitu setiap kerabat (nasab) pewaris yang menerima sisa harta warisan yang telah dibagikan. Bahkan, jika ternyata tidak ada ahli waris lainnya, ia berhak mengambil seluruh harta peninggalan. Misalnya anak laki-laki pewaris, cucu dari anak laki-laki pewaris, saudara kandung pewaris, paman kandung, dan seterusnya.
3. Penambahan bagi ashhabul furudh sesuai bagian (kecuali suami istri). Apabila harta warisan yang telah dibagikan kepada semua ahli warisnya masih juga tersisa, maka hendaknya diberikan kepada ashhabul furudh masing-masing sesuai dengan bagian yang telah ditentukan. Adapun suami atau istri tidak berhak menerima tambahan bagian dari sisa harta yang ada. Sebab hak waris bagi suami atau istri disebabkan adanya ikatan pernikahan, sedangkan kekerabatan karena nasab lebih utama mendapatkan tambahan dibandingkan lainnya.
4.Mewariskan kepada kerabat. Yang dimaksud kerabat di sini ialah kerabat pewaris yang masih memiliki kaitan rahim --tidak termasuk ashhabul furudh juga 'ashabah. Misalnya, paman (saudara ibu), bibi (saudara ibu), bibi (saudara ayah), cucu laki-laki dari anak perempuan, dan cucu perempuan dari anak perempuan. Maka, bila pewaris tidak mempunyai kerabat sebagai ashhabul furudh, tidak pula 'ashabah, para kerabat yang masih mempunyai ikatan rahim dengannya berhak untuk mendapatkan warisan.
5.Tambahan hak waris bagi suami atau istri. Bila pewaris tidak mempunyai ahli waris yang termasuk ashhabul furudh dan 'ashabah, juga tidak ada kerabat yang memiliki ikatan rahim, maka harta warisan tersebut seluruhnya menjadi milik suami atau istri. Misalnya, seorang suami meninggal tanpa memiliki kerabat yang berhak untuk mewarisinya, maka istri mendapatkan bagian seperempat dari harta warisan yang ditinggalkannya, sedangkan sisanya merupakan tambahan hak warisnya. Dengan demikian, istri memiliki seluruh harta peninggalan suaminya. Begitu juga sebaliknya suami terhadap harta peninggalan istri yang meninggal.
6. Ashabah karena sebab. Yang dimaksud para 'ashabah karena sebab ialah orang-orang yang memerdekakan budak (baik budak laki-laki maupun perempuan). Misalnya, seorang bekas budak meninggal dan mempunyai harta warisan, maka orang yang pernah memerdekakannya termasuk salah satu ahli warisnya, dan sebagai 'ashabah. Tetapi pada masa kini sudah tidak ada lagi.
7. Orang yang diberi wasiat lebih dari sepertiga harta pewaris. Yang dimaksud di sini ialah orang lain, artinya bukan salah seorang dan ahli waris. Misalnya, seseorang meninggal dan mempunyai sepuluh anak. Sebelum meninggal ia terlebih dahulu memberi wasiat kepada semua atau sebagian anaknya agar memberikan sejumlah hartanya kepada seseorang yang bukan termasuk salah satu ahli warisnya. Bahkan mazhab Hanafi dan Hambali berpendapat boleh memberikan seluruh harta pewaris bila memang wasiatnya demikian.
8. Baitulmal (kas negara). Apabila seseorang yang meninggal tidak mempunyai ahli waris ataupun kerabat --seperti yang saya jelaskan-- maka seluruh harta peninggalannya diserahkan kepada baitulmal untuk kemaslahatan umum.



GOLONGAN AHLI WARIS
(lihat http://media.isnet.org/islam/Waris/index.html)

Ahli waris (yaitu orang yang berhak mendapatkan warisan) dari kaum laki-laki ada lima belas: (1) anak laki-laki, (2) cucu laki-laki (dari anak laki-laki), (3) bapak, (4) kakek (dari pihak bapak), (5) saudara kandung laki-laki, (6) saudara laki-laki seayah, (7) saudara laki-laki seibu, (8) anak laki-laki dari saudara kandung laki-laki, (9) anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu, (10) paman (saudara kandung bapak), (11) paman (saudara bapak seayah), (12) anak laki-laki dari paman (saudara kandung ayah), (13) anak laki-laki paman seayah, (14) suami, (15) laki-laki yang memerdekakan budak.
Cucu perempuan yang dimaksud di atas mencakup pula cicit dan seterusnya, yang penting perempuan dari keturunan anak laki-laki. Demikian pula yang dimaksud dengan nenek --baik ibu dari ibu maupun ibu dari bapak-- dan seterusnya.
Adapun ahli waris dari kaum wanita ada sepuluh: (1) anak perempuan, (2) ibu, (3) anak perempuan (dari keturunan anak laki-laki), (4) nenek (ibu dari ibu), (5) nenek (ibu dari bapak), (6) saudara kandung perempuan, (7) saudara perempuan seayah, (8) saudara perempuan seibu, (9) istri, (10) perempuan yang memerdekakan budak.
Cucu perempuan yang dimaksud di atas mencakup pula cicit dan seterusnya, yang penting perempuan dari keturunan anak laki-laki. Demikian pula yang dimaksud dengan nenek --baik ibu dari ibu maupun ibu dari bapak-- dan seterusnya.


PEMBAGIAN WARIS MENURUT AL QUR’AN

(lihat http://media.isnet.org/islam/Waris/index.html)
Jumlah bagian yang telah ditentukan Al-Qur'an ada enam macam, yaitu setengah (1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6).

A. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat 1/2
Ashhabul furudh yang berhak mendapatkan 1/2 dari harta waris peninggalan pewaris ada lima, satu dari golongan laki-laki dan empat lainnya perempuan. Kelima ashhabul furudh tersebut ialah:
· suami,
· anak perempuan,
· cucu perempuan keturunan anak laki-laki,
· saudara kandung perempuan, dan
· saudara perempuan seayah.

Rinciannya seperti berikut:
1. Seorang suami berhak untuk mendapatkan separo harta warisan, dengan syarat apabila pewaris tidak mempunyai keturunan, baik anak laki-laki maupun anak perempuan, baik anak keturunan itu dari suami tersebut ataupun bukan. Dalilnya adalah firman Allah:
"... dan bagi kalian (para suami) mendapat separo dari harta yang ditinggalkan istri-istri kalian, bila mereka (para istri) tidak mempunyai anak ..." (an-Nisa': 12)

2. Anak perempuan (kandung) mendapat bagian separo harta peninggalan pewaris, dengan dua syarat:
Pewaris tidak mempunyai anak laki-laki (berarti anak perempuan tersebut tidak mempunyai saudara laki-laki, penj.).
Apabila anak perempuan itu adalah anak tunggal. Dalilnya adalah firman Allah: "dan apabila ia (anak perempuan) hanya seorang, maka ia mendapat separo harta warisan yang ada". Bila kedua persyaratan tersebut tidak ada, maka anak perempuan pewaris tidak mendapat bagian setengah.

3. Cucu perempuan keturunan anak laki-laki akan mendapat bagian separo, dengan tiga syarat:
Apabila ia tidak mempunyai saudara laki-laki (yakni cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki).
Apabila hanya seorang (yakni cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki tersebut sebagai cucu tunggal).
Apabila pewaris tidak mempunyai anak perempuan ataupun anak laki-laki.
Dalilnya sama saja dengan dalil bagian anak perempuan (sama dengan nomor 2). Sebab cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki sama kedudukannya dengan anak kandung perempuan bila anak kandung perempuan tidak ada. Maka firman-Nya "yushikumullahu fi auladikum", mencakup anak dan anak laki-laki dari keturunan anak, dan hal ini telah menjadi kesepakatan para ulama.

4. Saudara kandung perempuan akan mendapat bagian separo harta warisan, dengan tiga syarat:
Ia tidak mempunyai saudara kandung laki-laki.
Ia hanya seorang diri (tidak mempunyai saudara perempuan).
Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakek, dan tidak pula mempunyai keturunan, baik keturunan laki-laki ataupun keturunan perempuan.
Dalilnya adalah firman Allah berikut:
"Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: 'Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaituj: jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya ...'" (an-Nisa': 176)

5. Saudara perempuan seayah akan mendapat bagian separo dari harta warisan peninggalan pewaris, dengan empat syarat:
Apabila ia tidak mempunyai saudara laki-laki.
Apabila ia hanya seorang diri.
Pewaris tidak mempunyai saudara kandung perempuan.
Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakak, dan tidak pula anak, baik anak laki-laki maupun perempuan.
Dalilnya sama dengan Butir 4 (an-Nisa': 176), dan hal ini telah menjadi kesepakatan ulama.


B. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat 1/4
Adapun kerabat pewaris yang berhak mendapat seperempat (1/4) dari harta peninggalannya hanya ada dua, yaitu suami dan istri. Rinciannya sebagai berikut:
1. Seorang suami berhak mendapat bagian seperempat (1/4) dari harta peninggalan istrinya dengan satu syarat, yaitu bila sang istri mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak laki-lakinya, baik anak atau cucu tersebut dari darah dagingnya ataupun dari suami lain (sebelumnya). Hal ini berdasarkan firman Allah berikut:
"... Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya É" (an-Nisa': 12)
2. Seorang istri akan mendapat bagian seperempat (1/4) dari harta peninggalan suaminya dengan satu syarat, yaitu apabila suami tidak mempunyai anak/cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya ataupun dari rahim istri lainnya. Ketentuan ini berdasarkan firman Allah berikut:
"... Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak ..." (an-Nisa': 12)
Ada satu hal yang patut diketahui oleh kita --khususnya para penuntut ilmu-- tentang bagian istri. Yang dimaksud dengan "istri mendapat seperempat" adalah bagi seluruh istri yang dinikahi seorang suami yang meninggal tersebut. Dengan kata lain, sekalipun seorang suami meninggalkan istri lebih dari satu, maka mereka tetap mendapat seperempat harta peninggalan suami mereka. Hal ini berdasarkan firman Allah di atas, yaitu dengan digunakannya kata lahunna (dalam bentuk jamak) yang bermakna 'mereka perempuan'. Jadi, baik suami meninggalkan seorang istri ataupun empat orang istri, bagian mereka tetap seperempat dari harta peninggalan.

C. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat 1/8
Dari sederetan ashhabul furudh yang berhak memperoleh bagian seperdelapan (1/8) yaitu istri. Istri, baik seorang maupun lebih akan mendapatkan seperdelapan dari harta peninggalan suaminya, bila suami mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya atau dari rahim istri yang lain. Dalilnya adalah firman Allah SWT:
"... Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuh, wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu ..." (an-Nisa': 12)

D. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat 2/3
Ahli waris yang berhak mendapat bagian dua per tiga (2/3) dari harta peninggalan pewaris ada empat, dan semuanya terdiri dari wanita:
Dua anak perempuan (kandung) atau lebih.
Dua orang cucu perempuan keturunan anak laki-laki atau lebih.
Dua orang saudara kandung perempuan atau lebih.
Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih.
Ketentuan ini terikat oleh syarat-syarat seperti berikut:
1. Dua anak perempuan (kandung) atau lebih itu tidak mempunyai saudara laki-laki, yakni anak laki-laki dari pewaris. Dalilnya firman Allah berikut:
"... dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua per tiga dari harta yang ditinggalkan ..." (an-Nisa': 11)
Ada satu hal penting yang mesti kita ketahui agar tidak tersesat dalam memahami hukum yang ada dalam Kitabullah. Makna "fauqa itsnataini" bukanlah 'anak perempuan lebih dari dua', melainkan 'dua anak perempuan atau lebih', hal ini merupakan kesepakatan para ulama. Mereka bersandar pada hadits Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim yang mengisahkan vonis Rasulullah terhadap pengaduan istri Sa'ad bin ar-Rabi' r.a. --sebagaimana diungkapkan dalam bab sebelum ini.
Hadits tersebut sangat jelas dan tegas menunjukkan bahwa makna ayat itsnataini adalah 'dua anak perempuan atau lebih'. Jadi, orang yang berpendapat bahwa maksud ayat tersebut adalah "anak perempuan lebih dari dua" jelas tidak benar dan menyalahi ijma' para ulama. Wallahu a'lam.
2. Dua orang cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki akan mendapatkan bagian dua per tiga (2/3), dengan persyaratan sebagai berikut:
Pewaris tidak mempunyai anak kandung, baik laki-laki atau perempuan.
Pewaris tidak mempunyai dua orang anak kandung perempuan.
Dua cucu putri tersebut tidak mempunyai saudara laki-laki.
3. Dua saudara kandung perempuan (atau lebih) akan mendapat bagian dua per tiga dengan persyaratan sebagai berikut:
Bila pewaris tidak mempunyai anak (baik laki-laki maupun perempuan), juga tidak mempunyai ayah atau kakek.
Dua saudara kandung perempuan (atau lebih) itu tidak mempunyai saudara laki-laki sebagai 'ashabah.
Pewaris tidak mempunyai anak perempuan, atau cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Dalilnya adalah firman Allah:
"... tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua per tiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal ..." (an-Nisa': 176)
4. Dua saudara perempuan seayah (atau lebih) akan mendapat bagian dua per tiga dengan syarat sebagai berikut:
Bila pewaris tidak mempunyai anak, ayah, atau kakek.
Kedua saudara perempuan seayah itu tidak mempunyai saudara laki-laki seayah.
Pewaris tidak mempunyai anak perempuan atau cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, atau saudara kandung (baik laki-laki maupun perempuan).
Persyaratan yang harus dipenuhi bagi dua saudara perempuan seayah untuk mendapatkan bagian dua per tiga hampir sama dengan persyaratan dua saudara kandung perempuan, hanya di sini (saudara seayah) ditambah dengan keharusan adanya saudara kandung (baik laki-laki maupun perempuan). Dan dalilnya sama, yaitu ijma' para ulama bahwa ayat "... tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua per tiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal ..." (an-Nisa': 176) mencakup saudara kandung perempuan dan saudara perempuan seayah. Sedangkan saudara perempuan seibu tidaklah termasuk dalam pengertian ayat tersebut. Wallahu a'lam.


E. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat 1/3
Adapun ashhabul furudh yang berhak mendapatkan warisan sepertiga bagian hanya dua, yaitu ibu dan dua saudara (baik laki-laki ataupun perempuan) yang seibu.
Seorang ibu berhak mendapatkan bagian sepertiga dengan syarat:
Pewaris tidak mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki.
Pewaris tidak mempunyai dua orang saudara atau lebih (laki-laki maupun perempuan), baik saudara itu sekandung atau seayah ataupun seibu. Dalilnya adalah firman Allah:
"... dan jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga..." (an-Nisa': 11)
Juga firman-Nya:
"... jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam..." (an-Nisa': 11)

Catatan:
Lafazh ikhwatun bila digunakan dalam faraid (ilmu tentang waris) tidak berarti harus bermakna 'tiga atau lebih', sebagaimana makna yang masyhur dalam bahasa Arab --sebagai bentuk jamak. Namun, lafazh ini bermakna 'dua atau lebih'. Sebab dalam bahasa bentuk jamak terkadang digunakan dengan makna 'dua orang'. Misalnya dalam istilah shalat jamaah, yang berarti sah dilakukan hanya oleh dua orang, satu sebagai imam dan satu lagi sebagai makmum. Dalil lain yang menunjukkan kebenaran hal ini adalah firman Allah berikut:
"Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan) É" (at-Tahrim: 4)
Kemudian saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu, dua orang atau lebih, akan mendapat bagian sepertiga dengan syarat sebagai berikut:
Bila pewaris tidak mempunyai anak (baik laki-laki ataupun perempuan), juga tidak mempunyai ayah atau kakak.
Jumlah saudara yang seibu itu dua orang atau lebih.
Adapun dalilnya adalah firman Allah:
"... Jika seseorang mati baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu ..." (an-Nisa': 12)

Catatan
Yang dimaksud dengan kalimat "walahu akhun au ukhtun" dalam ayat tersebut adalah 'saudara seibu'. Sebab Allah SWT telah menjelaskan hukum yang berkaitan dengan saudara laki-laki dan saudara perempuan sekandung dalam akhir surat an-Nisa'. Juga menjelaskan hukum yang berkaitan dengan bagian saudara laki-laki dan perempuan seayah dalam ayat yang sama. Karena itu seluruh ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan "akhun au ukhtun" dalam ayat itu adalah saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu.
Selain itu, ada hal lain yang perlu kita tekankan di sini yakni tentang firman "fahum syurakaa 'u fits tsulutsi" (mereka bersekutu dalam yang sepertiga). Kata bersekutu menunjukkan kebersamaan. Yakni, mereka harus membagi sama di antara saudara laki-laki dan perempuan seibu tanpa membedakan bahwa laki-laki harus memperoleh bagian yang lebih besar daripada perempuan. Kesimpulannya, bagian saudara laki-laki dan perempuan seibu bila telah memenuhi syarat-syarat di atas ialah sepertiga, dan pembagiannya sama rata baik yang laki-laki maupun perempuan. Pembagian mereka berbeda dengan bagian para saudara laki-laki/perempuan kandung dan seayah, yang dalam hal ini bagian saudara laki-laki dua kali lipat bagian saudara perempuan.

Masalah 'Umariyyatan
Pada asalnya, seorang ibu akan mendapat bagian sepertiga dari seluruh harta peninggalan pewaris bila ia mewarisi secara bersamaan dengan bapak --seperti telah saya jelaskan--- berdasarkan pemahaman bagian ayat (artinya) "jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga".
Akan tetapi, berkaitan dengan ini ada dua istilah yang muncul dan dikenal di kalangan fuqaha, yakni 'umariyyatan dan al-gharawaini. Disebut 'umariyyatan sebab kedua hal ini dilakukan oleh Umar bin Khathab dan disepakati oleh jumhur sahabat ridhwanullah 'alaihim. Sedangkan al-gharawaini bermakna 'dua bintang cemerlang', karena kedua istilah ini sangat masyhur. Dalam kasus ini, ibu hanya diberi sepertiga bagian dari sisa harta warisan yang ada, setelah sebelumnya dikurangi bagian suami atau istri. Agar lebih jelas, saya sertakan contohnya.

Masalah 'umariyyatan ini pernah terjadi pada masa sahabat, tepatnya masa Umar bin Khathab r.a.. Dalam masalah ini terdapat dua pendapat yang terkenal. Pendapat pertama dintarakan oleh Zaid bin Tsabit r.a. yang kemudian diambil oleh jumhur ulama serta dikokohkan oleh Umar bin Khathab dengan menyatakan bahwa bagian ibu adalah sepertiga dari sisa setelah diambil hak suami atau istri.

Sedangkan pendapat yang kedua diutarakan oleh Ibnu Abbas r.a.. Menurutnya, ibu tetap mendapat bagian sepertiga (1/3) dari seluruh harta yang ditinggalkan suami atau istri (anaknya). Bahkan Ibnu Abbas menyanggah pendapat Zaid bin Tsabit: "Apakah memang ada di dalam Al-Qur'an istilah sepertiga dari sisa setelah diambil hak suami atau istri?" Zaid menanggapinya dengan mengatakan: "Di dalam Kitabullah juga tidak disebutkan bahwa bagian ibu sepertiga dari seluruh harta peninggalan yang ada bila ibu bersama-sama mewarisi dengan salah satu suami atau istri. Sebab yang disebutkan di dalam Al-Qur'an hanya "wawaritsahu abawahu".

F. Asbhabul Furudh yang Mendapat Bagian Seperenam
Adapun asbhabul furudh yang berhak mendapat bagian seperenam (1/6) ada tujuh orang. Mereka adalah (1) ayah, (2) kakek asli (bapak dari ayah), (3) ibu, (4) cucu perempuan keturunan anak laki-laki, (5) saudara perempuan seayah, (6) nenek asli, (7) saudara laki-laki dan perempuan seibu.

1. Seorang ayah akan mendapat bagian seperenam (1/6) bila pewaris mempunyai anak, baik anak laki-laki atau anak perempuan. Dalilnya firman Allah (artinya): "... Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak ..." (an-Nisa': 11)

2. Seorang kakek (bapak dari ayah) akan mendapat bagian seperenam (1/6) bila pewaris mempunyai anak laki-laki atau perempuan atau cucu laki-laki dari keturunan anak --dengan syarat ayah pewaris tidak ada. Jadi, dalam keadaan demikian salah seorang kakek akan menduduki kedudukan seorang ayah, kecuali dalam tiga keadaan yang akan saya rinci dalam bab tersendiri.

3. Ibu akan memperoleh seperenam (1/6) bagian dari harta yang ditinggalkan pewaris, dengan dua syarat:
Bila pewaris mempunyai anak laki-laki atau perempuan atau cucu laki-laki keturunan anak laki-laki.
Bila pewaris mempunyai dua orang saudara atau lebih, baik saudara laki-laki ataupun perempuan, baik sekandung, seayah, ataupun seibu. Dalilnya firman Allah (artinya):
"... jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam ..." (an-Nisa': 11).

4. Cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki seorang atau lebih akan mendapat bagian seperenam (1/6), apabila yang meninggal (pewaris) mempunyai satu anak perempuan. Dalam keadaan demikian, anak perempuan tersebut mendapat bagian setengah (1/2), dan cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki pewaris mendapat seperenam (1/6), sebagai pelengkap dua per tiga (2/3). Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam sahihnya bahwa Abu Musa al-Asy'ari r.a. ditanya tentang masalah warisan seseorang yang meninggalkan seorang anak perempuan, cucu perempuan dari keturunan anak laki-lakinya, dan saudara perempuan. Abu Musa kemudian menjawab: "Bagi anak perempuan mendapat bagian separo (1/2), dan yang setengah sisanya menjadi bagian saudara perempuan."
Merasa kurang puas dengan jawaban Abu Musa, sang penanya pergi mendatangi Ibnu Mas'ud. Maka Ibnu Mas'ud berkata: "Aku akan memutuskan seperti apa yang pernah diputuskan Rasulullah saw., bagi anak perempuan separo (1/2) harta peninggalan pewaris, dan bagi cucu perempuan keturunan dari anak laki-laki mendapat bagian seperenam (1/6) sebagai pelengkap 2/3, dan sisanya menjadi bagian saudara perempuan pewaris."
Mendengar jawaban Ibnu Mas'ud, sang penanya kembali menemui Abu Musa al-Asy'ari dan memberi tahu permasalahannya. Kemudian Abu Musa berkata: "Janganlah sekali-kali kalian menanyaiku selama sang alim ada di tengah-tengah kalian."

Catatan
Cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki akan mendapatkan bagian seperenam (1/6) dengan syarat bila pewaris tidak mempunyai anak laki-laki. Sebab bila ada anak laki-laki, maka anak tersebut menjadi penggugur hak sang cucu. Selain itu, pewaris juga tidak mempunyai anak perempuan lebih dari satu orang. Sebab jika lebih dari satu orang, anak-anak perempuan itu berhak mendapat bagian dua per tiga (2/3), dan sekaligus menjadi penggugur (penghalang) hak waris cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki pewaris.

5. Saudara perempuan seayah satu orang atau lebih akan mendapat bagian seperenam (1/6), apabila pewaris mempunyai seorang saudara kandung perempuan. Hal ini hukumnya sama denga keadaan jika cucu perempuan keturunan anak laki-laki bersamaan dengan adanya anak perempuan. Jadi, bila seseorang meninggal dunia dan meninggalkan saudara perempuan sekandung dan saudara perempuan seayah atau lebih, maka saudara perempuan seayah mendapat bagian seperenam (1/6) sebagai penyempurna dari dua per tiga (2/3). Sebab ketika saudara perempuan kandung memperoleh setengah (1/2) bagian, maka tidak ada sisa kecuali seperenam (1/6) yang memang merupakan hak saudara perempuan seayah.

6. Saudara laki-laki atau perempuan seibu akan mendapat bagian masing-masing seperenam (1/6) bila mewarisi sendirian. Dalilnya adalah firman Allah (artinya) "jika seseorang mati baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta". Dan persyaratannya adalah bila pewaris tidak mempunyai pokok (yakni kakek) dan tidak pula cabang (yakni anak, baik laki-laki atau perempuan).

7. Nenek asli mendapatkan bagian seperenam (1/6) ketika pewaris tidak lagi mempunyai ibu. Ketentuan demikian baik nenek itu hanya satu ataupun lebih (dari jalur ayah maupun ibu), yang jelas seperenam itu dibagikan secara rata kepada mereka. Hal ini berlandaskan pada apa yang telah ditetapkan di dalam hadits sahih dan ijma' seluruh sahabat.
Ashhabus Sunan meriwayatkan bahwa seorang nenek datang kepada Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. untuk menuntut hak warisnya. Abu Bakar menjawab: "Saya tidak mendapati hakmu dalam Al-Qur'an maka pulanglah dulu, dan tunggulah hingga aku menanyakannya kepada para sahabat Rasulullah saw." Kemudian al-Mughirah bin Syu'bah mengatakan kepada Abu Bakar: "Suatu ketika aku pernah menjumpai Rasulullah saw. memberikan hak seorang nenek seperenam (1/6)." Mendengar pernyataan al-Mughirah itu Abu Bakar kemudian memanggil nenek tadi dan memberinya seperenam (1/6). Wallahu a'lam.

Ashabah Nasabiyah
KATA 'ashabab dalam bahasa Arab berarti kerabat seseorang dari pihak bapak. Disebut demikian, dikarenakan mereka --yakni kerabat bapak-- menguatkan dan melindungi. Dalam kalimat bahasa Arab banyak digunakan kata 'ushbah sebagai ungkapan bagi kelompok yang kuat. Demikian juga di dalam Al-Qur'an, kata ini sering kali digunakan, di antaranya dalam firman Allah berikut:
"Mereka berkata: 'Jika ia benar-benar dimakan serigala, sedang kami golongan (yang kuat), sesungguhnya kami kalau demikian adalah orang-orang yang merugi.'" (Yusuf: 14)

Maka jika dalam faraid kerabat diistilahkan dengan 'ashabah hal ini disebabkan mereka melindungi dan menguatkan. Inilah pengertian 'ashabah dari segi bahasa. Sedangkan pengertian 'ashabah menurut istilah para fuqaha ialah ahli waris yang tidak disebutkan banyaknya bagian di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan tegas. Sebagai contoh, anak laki-laki, cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, saudara kandung laki-laki dan saudara laki-laki seayah, dan paman (saudara kandung ayah). Kekerabatan mereka sangat kuat dikarenakan berasal dari pihak ayah.

Pengertian 'ashabah yang sangat masyhur di kalangan ulama faraid ialah orang yang menguasai harta waris karena ia menjadi ahli waris tunggal. Selain itu, ia juga menerima seluruh sisa harta warisan setelah ashhabul furudh menerima dan mengambil bagian masing-masing.


Ketentuan tentang Pembagian Harta Peninggalan dalam KHI terdapat dalam Pasal 176-191

Pasal 186 KHI dinyatakan bahwa :”anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.”

Pasal 187
(1) bilamana pewaris meninggalkan warisan harta peninggalan, maka oleh pewaris semasa hidupnya atau oleh para ahli waris dapat ditunjuk beberapa orang sebagai pelaksana pembagian harta warisan dengan tugas:
a. mencatat dalam suatu daftar harta peninggalan, baik berupa benda bergerak maupun tidak bergerak yang kemudian disahkan oleh para ahli waris yang bersangkutan, bila perlu dinilai harganya dengan uang;
b. menghitung jumlah pengeluaran untuk kepentingan pewaris sesuai dengan Pasal 175 ayat (1) sub a, b, dan c.
(2) Sisa dari pengeluaran dimaksud di atas adalah merupakan harta warisan yang harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak.

Pasal 188
Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan. Bila ada diantara ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian warisan.

Pasal 189
(1) Bila warisan yang akan dibagi berupa lahan pertanian yang luasnya kurang dari 2 hektar, supaya dipertahankan kesatuannya sebagaimana semula, dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama para ahli waris yang bersangkutan.
(2) Bila ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini tidak dimungkinkan karena di antara para ahli waris yang bersangkutan ada yang memerlukan uang, maka lahan tersebut dapat dimiliki oleh seorang atau lebih ahli waris yang dengan cara membayar harganya kepada ahli waris yang berhak sesuai dengan bagiannya masing-masing.

WASIAT
Diatur dalam Bab V Pasal 194-209

Syarat-syarat materiil Wasiat (Pasal 194 dan Pasal 196)
(1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga.
(2) Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.
(3) Pemilikan terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat (1) pasal ini baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia.
(4) Dalam wasiat baik secara tertulis maupun lisan harus disebutkan dengan tegas dan jelas siapa-siapa atau lembaga apa yang ditunjuk akan menerima harta benda yang diwasiatkan.

Syarat-syarat formil Wasiat (Pasal 195)
(1) Wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau tertulis dihadapan dua orang saksi, atau dihadapan Notaris.
(2) Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujui.
(3) Wasiat kepada ahli waris berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris.
(4) Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal ini dibuat secara lisan di hadapan dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua orang saksi di hadapan Notaris.

Batalnya suatu Wasiat (Pasal 197)
(1) Wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat berdasarkan putusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dihukum karena:
a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat kepada pewasiat;
b. dipersalahkan secara memfitrnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewasiat telah melakukan sesuatu kejahatan yang diancam hukuman lima tahun penjara atau hukuman yang lebih berat;
c. dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk membuat atau mencabut atau merubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat;
d. dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan surat wasiat dan pewasiat.
(2) Wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu:
tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai meninggal dunia sebelum meninggalnya pewasiat;
mengetahui adanya wasiat tersebut, tapi ia menolak untuk menerimanya;
mengetahui adanya wasiaty itu, tetapi tidak pernah menyatakan menerima atau menolak sampai ia meninggal sebelum meninggalnya pewasiat.
(3) Wasiat menjadi batal apabila yang diwasiatkan musnah.


Batasan jumlah harta yang diwasiatkan tidak lebih dari 1/3 harta warisan (Pasal 201)
“Apabila wasiat melebihi sepertiga dari harta warisan sedangkan ahli waris ada yang tidak menyetujui, maka wasiat hanya dilaksanakan sampai sepertiga harta warisnya.”


Pembukaan dan Pembacaan Surat Wasiat (Pasal 204)
(1) Jika pewasiat meninggal dunia, maka surat wasiat yang tertutup dan disimpan pada Notaris, dibuka olehnya di hadapan ahli waris, disaksikan dua orang saksi dan dengan membuat berita acara pembukaan surat wasiat itu.
(2) Jika surat wasiat yang tertutup disimpan bukan pada Notaris maka penyimpan harus menyerahkan kepada Notaris setempat atau Kantor Urusan Agama setempat dan selanjutnya Notaris atau Kantor Urusan Agama tersebut membuka sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) pasal ini.
(3) Setelah semua isi serta maksud surat wasiat itu diketahui maka oleh Notaris atau Kantor Urusan Agama diserahkan kepada penerima wasiat guna penyelesaian selanjutnya.

Warisan dan Wasiat Wajibah Anak Angkat dan Orang Tua Angkat (Pasal 209)
(1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan Pasal 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta wasiat anak angkatnya.
(2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.

Wasiat Darurat (Pasal 206-207)
Pasal 206
Mereka yang berada dalam perjalanan melalui laut dibolehkan membuat surat wasiat di hadapan nakhoda atau mualim kapal, dan jika pejabat tersebut tidak ada, maka dibuat di hadapan seorang yang menggantinya dengan dihadiri oleh dua orang saksi.

Hibah menjelang Kematian
Hibah yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan kematian, maka harus mendapat persetujuan dari ahli warisnya. (Pasal 213)



BERSAMBUNG....

Hukum Waris di Indonesia (1)

Ada 3 macam sistem hukum waris di Indonesia:
1. Sistem Hukum Waris Barat/Perdata sebagaimana diatur dalam KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek)
2. Sistem Hukum Waris Islam sebagaimana diatur menurut ketentuan Al Qur’an, As Sunah, dan Ijma’yang di Indonesia terangkum dalam Kompilasi Hukum Islam
3. Sistem Hukum Adat sebagaimana diatur oleh norma-norma/kebiasan-kebiasaan yang hidup di masyarakat adat tertentu.

Sebelum menentukan bagaimana pembagian waris dilakukan, maka yang perlu untuk diputuskan pertama kali adalah kesepakatan para pihak dalam menentukan sistem hukum waris apa yang akan digunakan.

Sebagai suatu sistem hukum, ketiganya tidak dapat dicampuradukkan, karena hal ini dapat mencederai masing-masing sistem yang dapat mengakibatkan ketimpangan dan ketidakadilan bagi para pihak yang terlibat dalam peristiwa pewarisan tersebut. Konsistensi dalam menerapkan pilihan suatu sistem hukum waris akan sangat menentukan rasa keadilan.

1. HUKUM WARIS BARAT (KUHPdt/BW)
Istilah
:
Hukum Waris = erfrecht, yaitu serangkaian ketentuan yang mengatur peralihan warisan seseorang yang meninggal dunia kepada orang lain;

Ahli Waris = erfgenaam, yaitu orang-orang yang mewarisi

Bagian (hak) mutlak (IBVH: “bagian menurut UU”) = legitieme portie, yaitu bagian seorang ahli waris/legitimaris yang dilindungi UU)

Bagian Warisan yang bebas = beschikbaar deel der erfenis, atau bagian warisan setelah dipotong bagian mutlak-bagian mutlak para legitimaris;

Hibah = schenking, yaitu suatu pemberian tanpa pamrih

Hibah wasiat = legaat, suatu pemberian yang dituangkan dalam penetapan wasiat yang mengandung pemberian barang atau barang-barang tertentu atau semua barang jenis tertentu kepada seseorang atau lebih

Pewarisan ada 2 macam:
1. Pewarisan Ab Intestato (Hubungan darah)
2. Pewarisan dengan Surat Wasiat (Kemauan Pewaris)
Baik dengan atau tanpa perjanjian Nikah

Syarat Pewarisan adalah sebagai berikut:
Meninggalnya Pewaris (Ps.830 BW)
Harta Warisan hanya dapat diwariskan kepada pihak lain apabila terjadi suatu kematian
Ahli waris (AW) harus ada dan hidup pada saat Pewaris meninggal dunia (Ps.836 BW)
Kecakapan AW

Pewaris terbagi menjadi 4 golongan, yaitu:
GOLONGAN I : Suami/Istri dan Anak-anak yang sah (Ps.852)
GOLONGAN II : Orang Tua, Saudara dan Keturunan Saudara (Ps.854)
GOLONGAN III : Keluarga sedarah dalam garis lurus keatas dari dua kloving jalur Ayah dan Ibu (masing-masing kloving ½ bagian) yang terdekat derajatnya dengan Pewaris (Nenek & Kakek dari Ibu, Nenek & Kakek dari Ayah, Nenek Buyut & Kakek Buyut dari Ibu, Nenek Buyut & Kakek Buyut dari Ayah dst keatas) (Ps. 853 (2)
GOLONGAN IV : Hubungan darah kesamping sampai derajat keenam atau pengganti derajat keenam tersebut.
Jika semua golongan tersebut tidak ada maka Negara yang menerima Harta Peninggalan (Negara bukan sebagai ahli waris)

Terhadap anak/keturunan yang tidak sah, hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan satu orang tuanya, yaitu dengan si Ibu. Adapun hubungan dengan Ayah, terjadi apabila ada Pengakuan (Ps. 221).
Artinya, dengan kelahiran, maka anak tersebut menjadi anak luar nikah si Ibu, dan dengan pengakuan Ayah, ia menjadi anak luar nikah si Ayah. Antara anak luar nikah dengan sanak keluarga sedarah dari orangtuanya , pada asasnya tidak menimbulkan hubungan perdata. Seorang anak luar nikah tidak akan pernah dapat mewarisi dari sanak keluarga orang tuanya, dan sebaliknya, sanak keluarga tidak dapat bertindak dalam harta peninggalan anak luar nikah dari salah seorang anggota keluarganya.[1]

Pembagian Warisan
Prinsipnya: Sama Rata dalam Golongan yang terdekat dengan Pewaris. Kecuali untuk anak diluar nikah yang diakui oleh Ayahnya dengan ketentuan:
Apabila bersama Golongan I = 1/3 x bagian Para AW yang sah
Apabila bersama Golongan II dan III = ½ x bagian Para AW yang sah
Apabila bersama Golongan IV = ¾ x bagian Para AW yang sah

Contoh-Contoh:
Contoh 1a:
Pewaris: A (meninggal) dengan Harta Peninggalan (HP) sebidang tanah senilai Rp. 110.000.000,00, utang Pewaris semasa hidup dan biaya pengurusan jenazah Rp. 10.000.000,00. Ahli Waris yang hidup (Golongan I dan 1 anak diluar nikah), yaitu:

Istri/Suami B:
Anak C
(C anak diluar nikah A dan B, tapi diakui)
Anak D
Anak E
Anak F
(DEF anak sah dari perkawinan A dan B)

Maka pembagiannya adalah sebagai berikut:
Harta Peninggalan: Rp. 110.000.000,00-Rp.10.000.000,00= Rp. 100.000.000,00
Bagian Rata 5 Ahli Waris:
I/5 x Rp.100.000.000= @Rp.20.000.000,00

C mendapat:
1/3 x Rp.20.000.000= Rp.6.666.666,67

Sisa 2/3 x 20.000.000= Rp.13.333.333.33 dibagi untuk B, D, E, F sehingga masing-masing Ahli Waris yang sah mendapat tambahan sebesar ¼ x Rp. 13.333.333,33 = Rp. 3.333.333,33

Jadi:
B, D, E, F masing-masing mendapat:
Rp. 20.000.000,00 + Rp. 3.333.333,33 = Rp. 23.333.333,33

C mendapat:
Rp. 6.666.666,67

Contoh 1b:
Pewaris: A (meninggal) dengan Harta Peninggalan (HP) sebidang tanah senilai Rp. 130.000.000,00, utang Pewaris semasa hidup dan biaya pengurusan jenazah Rp. 10.000.000,00. Ahli Waris yang hidup (Golongan I dan 2 anak diluar nikah), yaitu:

Istri/Suami B:
Anak diluar Nikah C
Anak diluar Nikah D
(*C dan D anak diluar nikah A dan B tapi diakui)
Anak E
Anak F
Anak G
(*E F G anak sah dari perkawinan A dan B)

Maka pembagiannya adalah sebagai berikut:
Harta Peninggalan: Rp. 130.000.000,00-Rp.10.000.000,00= Rp. 120.000.000,00
Bagian Rata 6 Ahli Waris
I/6 x Rp.120.000.000= @Rp.20.000.000,00
C dan D masing-masing mendapat:
1/3 x Rp.20.000.000= Rp.6.666.666,67

Sisa 2 x (2/3 x 20.000.000)= Rp.26.666.666,67
dibagi untuk B, E, F, G sehingga masing-masing mendapat tambahan sebesar ¼ x Rp.26.666.666,67 = Rp. 6.666.666,66

Jadi:
B, E, F, G masing-masing mendapat:
Rp. 20.000.000,00 + Rp. 6.666.666,66= @Rp. 26.666.666,66

C dan D masing-masing mendapat:
@ Rp. 6.666.666,67


Contoh 2:
Pewaris: A (meninggal) dengan Harta Peninggalan (HP) sebidang tanah senilai Rp. 110.000.000,00, utang Pewaris semasa hidup dan biaya pengurusan jenazah Rp. 10.000.000,00. Ahli Waris yang hidup (Golongan II /IIIdan 1 anak diluar nikah), yaitu:

Ibu B
Ayah C
Kakak D
Adik E (alm) diganti dengan anak-anaknya yaitu F dan G
Anak diluar Nikah H
(*H anak diluar nikah A dan B tapi diakui)

Maka pembagiannya adalah sebagai berikut:
Harta Peninggalan: Rp. 110.000.000,00-Rp.10.000.000,00= Rp. 100.000.000,00
Bagian H = ½ x Rp. 100.000.000,00 = Rp. 50.000.000,00
Bagian Rata 4 Ahli Waris
I/4 x Rp.50.000.000 = @Rp.12.500.000,00

Jadi:
H mendapat:
Rp. 50.000.000,00

B, C, D masing-masing mendapat:
@Rp. 12.500.000,00

F dan G sebagai anak-anak E (alm):
½ x 12.500.000,00 = @Rp. 6.250.000,00


Contoh 3:
Pewaris: A (meninggal) dengan Harta Peninggalan (HP) sebidang tanah senilai Rp. 110.000.000,00, utang Pewaris semasa hidup dan biaya pengurusan jenazah Rp. 10.000.000,00. Ahli Waris yang hidup (Golongan III dan 1 anak diluar nikah), yaitu:

Ibu dari Ayah (Nenek) B
Anak diluar Nikah C
(*C anak diluar nikah A dan X tapi diakui)

Maka pembagiannya adalah sebagai berikut:

Harta Peninggalan:
Rp. 110.000.000,00-Rp.10.000.000,00= Rp. 100.000.000,00

C mendapat:
½ x Rp.100.000.000,00 = Rp. 50.000.000,00

Nenek B mendapat:
Rp. 50.000.000,00

Contoh 4:
Pewaris: A (meninggal) dengan Harta Peninggalan (HP) sebidang tanah senilai Rp. 110.000.000,00, utang Pewaris semasa hidup dan biaya pengurusan jenazah Rp. 10.000.000,00. Ahli Waris yang hidup (Golongan IV dan 1 anak diluar nikah), yaitu:

Cucu dari Adik I B
Anak diluar Nikah C
(*C anak diluar nikah A dan X tapi diakui)

Maka pembagiannya adalah sebagai berikut:

Harta Peninggalan:
Rp. 110.000.000,00-Rp.10.000.000,00= Rp. 100.000.000,00

Bagian Rata 2 Ahli Waris:
½ x Rp.100.000.000 = @Rp.50.000.000,00



WASIAT / AMANAT TERAKHIR /TESTAMENT adalah suatu akta yang berisikan keterangan tentang apa yang dikehendaki seseorang untuk berlaku sesudah matinya. Wasiat tersebut hanya dapat ditarik oleh Si Pemberi Wasiat (selama dia masih hidup/sebelum kematiannya) yang dilakukannya tanpa paksaan, keliru, dan penipuan.


Seseorang dapat menguasai harta peninggalan seseorang seluruhnya ataupun sebagian. (Ps.921)

Pembagian Waris berdasarkan wasiat didahulukan daripada pembagian untuk ahliwaris yang tidak diwasiatkan oleh Pewaris.

Wasiat /Testament dapat dibuat dalam:
a. Akta wasiat Olografis (seluruhnya ditulis sendiri)
Syarat:
Akta ini ditulis tangan dan ditandatangani sendiri oleh Pewaris (Pasal 932 (1)
Akta ini disimpan di kantor notaris (Pasal 932 (2)
Jika terdapat suatu coretan atau tulisan dari orang lain apapun meskipun tidak menyangkut isi akta, surat tersebut batal dan tidak mempunyai kekuatan sama sekali;
Notaris yang bersangkutan harus membuat akta penyimpanan yang dihadiri oleh 2 orang saksi.

b. Akta wasiat umum (Openbaar Testament)
Pembuatan akta ini dibuat oleh seorang Notaris dengan dihadiri oleh 2 orang saksi, prosedurnya sama seperti pembuatan akta notaris pada umumnya.

c. Akta rahasia (Akta tertutup)
Pewaris dapat menulis sendiri sehelai surat wasiat rahasia atau dapat menyuruh orang lain menulisnya, tapi harus menandatangani sendiri (Pasal 940 (1). Akta tersebut kemudian oleh Pewaris sendiri disimpan ke notaris dalam keadaan tertutup, selanjutnya Notaris membuatkan akta penyimpanan dihadapan 4 orang saksi. Tanggal yang berlaku dalam akta rahasia tersebut adalah tanggal sebagaimana akta penyimpanan. Pewaris harus menerangkan bahwa kerta yang diserahkan tersebut berisi wasiat yang ditulis sendiri atau oleh orang lain dan telah ditandatangani oleh Pewaris sendiri. Selanjutnya Notaris membuat akta superskripsi (akta penjelasan) yang tertulis diatas kerta atau sampul yang memuat atau mengandung wasiatnya. Akta superskripsi ditandatangani oleh Pewaris, Notaris, dan Saksi

d. Akta Perjanjian Nikah
Wasiat juga dapat dimasukkan sebagai bagian dari Akta Perjanjian Nikah yang dibuat sebelum suatu Pernikahan seseorang dengan orang lain.

e. Akta Kodisil (walaupun terbatas)
Hanya boleh dipakai untuk :
Pengangkatan pelaksana (surat) wasiat
Pemesanan penguburan pewaris
Pemberian hibah wasiat (hanya untuk pakaian, barang perhiasan badan tertentu, perabot rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 935)
Syarat akta ini: seluruhnya tertulis, diberi tanggal, dan ditandatangani oleh Pewaris sendiri. Kodisil dapat disimpan dirumah. Tidak harus pergi ke Notaris.

f. Akta wasiat darurat
Wasiat yang dibuat dalam keadaan perang, berlayar, tempat yang berbahaya bagi nyawanya, atau orang yang terancam jiwanya karena sakit mendadak, pemberontakan, gempa bumi, dapat membuat suatu wasiat dihadapan pegawai negeri dengan dihadiri 2 orang saksi.

HIBAH (SCHENKING) dan HIBAH WASIAT (LEGAAT)

Hibah diatur dalam Buku III Pasal 1666-1693 BW.

Suatu Hibah harus dibuat dengan suatu akta Notaris (Pasal 1682), kecuali hibah harta bergerak dan tagihan atas tunjuk (toonder) (Pasal 1687);
Jika pemberi hibah berhalangan untuk membuat akta hibah, ia dapat memberikan kuasa (dalam bentuk akta notaris). Pasal 1688 menyatakan bahwa suatu hibah tidak dapat dicabut atau dibatalkan kecuali penerima hibah melakukan kesalahan-kesalahan sebagai berikut:
tidak memenuhi syarat-syarat pemberian hibah tersebut;
telah melakukan atau membantu melakukan usaha membunuh pemberi hibah atau kejahatan lain terhadap pemberi hibah; dan
menolak memberi tunjangan nafkah kepada pemberi hibah setelah pemberi hibah berada dalam keadaan miskin;

Hibah Wasiat diatur dalam Buku II BW, Bab 13 Bagian 6 Pasal 957-972.

Menurut Pasal 957, Hibah Wasiat adalah: suatu penetapan wasiat khusus (een bijzondere testamentaire beschicking) yang memberi kepada seseorang (atau lebih) barang tertentu atau semua barang sejenis, seperti seluruh barang bergerak atau barang tak bergerak. Hibah wasiat dapat diberikan kepada siapapun.

Hibah wasiat (Legaat) yang diberikan kepada Ahli Waris disebut: praelegaat). Disebut prelegaat karena apabila dalam suatu pembagian warisan terdapat Hibah Wasiat maka Ahli Waris yang diberi Hibah Wasiat tersebut didahulukan sebelum Harta Peninggalan dibagi menurut legitieme portie kepada para Ahli Waris yang lain;

Penerima Hibah Wasiat (Legataris)

Penyerahan legaat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
Jika legaat itu terdiri atas barang bergerak yang berwujud, hanya dengan penyerahan barangnya;
Jika terdiri dari barang bergerak tak berwujud, diperlukan sehelai akta yang harus ditandatangani oleh yang mnyerahkan dan yang menerimanya, sedangkan perjanjian itu harus diberitahukan secara resmi kepada debitor; dan
jika terdiri atas barang tidak bergerak, diperlukan sehelai akta dengan memperhatikan aturan khusus untuk penyerahan harta tetap tersebut;

Hibah wasiat harus diserahkan menurut keadaan pada tanggal wafatnya pewaris;

Beda antara Hibah dan Hibah Wasiat adalah:
Hibah diatur dalam Buku III BW , sedangkan Hibah Wasiat diatur dalam Buku II BW;
Hibah diserahkan pada saat Pemberi Hibah masih hidup pada saat Pemberi Hibah masih dalam keadaan hidup, sedangkan Hibah Wasiat berlaku penyerahan pada saat Pemberi Hibah sudah meninggal;
Hibah tidak masuk dalam legitimee portie sebagai harta peninggalan, sedangkan hibah wasiat masuk dalam legitime portie dalam perhitungan harta peninggalan;

Contoh 5:
Pewaris: A (meninggal) dengan Harta Peninggalan (HP) sebidang tanah senilai Rp. 110.000.000,00, utang Pewaris semasa hidup dan biaya pengurusan jenazah Rp. 10.000.000,00. Pewaris membuat akta Wasiat dihadapan Notaris untuk memberikan ½ Harta Peninggalan kepada anak C dari Golongan I. Ahli Waris yang hidup (Golongan I), yaitu:

Istri B
Anak C
Anak D
Anak E

Maka pembagiannya adalah sebagai berikut:

Harta Peninggalan:
Rp. 110.000.000,00-Rp.10.000.000,00= Rp. 100.000.000,00

Wasiat untuk C:
¾ x Rp.100.000.000,00 = Rp.75.000.000,00

Bagian Rata 4 Ahli Waris dari sisa bagian Rp.15.000.000,00:
1/4 x Rp.15.000.000 = @Rp.3.750.000,00

Jadi:
Anak C mendapat:
Rp.75.000.000,00 + Rp. 3.750.000,00 = Rp. 78.750.000,00

B, D, E masing-masing mendapat:
Rp. 3.750.000,00


PELAKSANA WASIAT (Executeur Testamentair)
Jika tidak ada penunjukan Pelaksana Wasiat oleh Pewaris maka yang biasanya menjadi Pelaksana Wasiat adalah Ahli Waris. Ketentuan tentang Pelaksana Wasiat diatur dalam Buku Kedua BW, Bab 14, Bagian 9, Pasal 1005-1018. Setiap pewaris memiliki wewenang untuk mengangkat seorang atau lebih pelaksana wasiat. Pengangkatan dilakukan dengan surat wasiat, kodisil atau akta notaris khusus (Pasal 1005)

Yang tidak dapat diangkat sebagai pelaksana wasiat: (Pasal 1006)
wanita nikah (ketentuan ini tidak berlaku lagi)
orang dibawah umur, walaupun telah memperoleh pendewasaan;
orang yang dibawah pengampuan;
mereka yang tidak berwenang membuat perikatan;

Kewajiban seorang Pelaksana Wasiat:
mengusahakan pencatatan harta (boedelbeschrijving) yang dihadiri para ahli waris dan jika mereka tidak atau tidak semua hadir , sedikitnya mereka yang bertempat tinggal di Indonesia telah diundang secara sah dengan eksploit (Ps.1010); Berita Acara Pencatatan Harta tidak perlu notarial, asalkan semua ahli waris setuju;
mengusahakan agar warisan disegel apabila ada ahli waris dibawah umur atau dibawah pengampuan yang tidak ada wakil hukumnya (wali atau pengampu) atau jika ada ahli waris yang tidak ada wakil hukumnya (wali atau pengampu) atau jika ada ahli waris yang tidak dapat hadir tanpa mengajukan wakilnya (Pasal 1009)






[1] Prof. Mr. A. Pitlo, HUKUM WARIS, PT. Intermasa, Jakarta, 1990. Hal. 51



bersambung...